Rabu, 03 November 2010

Menggalang Toleransi Guna Mereduksi Konflik Antar Umat Beragama




Andik Matulessy


Diberikan dalam rangka Seminar Internasional
Kerjasama Universitas Kebangsaan Malaysia
dengan
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 23 Agustus 2004



“Orang-orang yang diberi al-kitab tidak berselisih kecuali setelah mereka mendapatkan ilmu karena rasa ingin saling mengalahkan (baghy) di antara mereka” (QS 3:9).

"Bukti kepercayaan terbesar adalah jika seseorang memutuskan bahwa dirinya bukanlah Tuhan"( Oliver Wendell Holmes, Jr)

"Pengalaman agama adalah soal batiniah dan subjektif, juga sangat individualistis. Juga barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama..." ( Mukti Ali)

Pendahuluan

Akhir-akhir ini semakin banyak konflik atau kerusuhan yang bermotifkan keagamaan terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya akan menjadi permasalahan yang mengganggu kelancaran pembangunan yang membutuhkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai suatu stabilitas nasional yang mantap. Permasalahan yang bersumber dari sentimen keagamaan menjadi pertanyaan bagi semua kalangan, karena dalam sejarah selama ini antar umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai.

Padahal dalam perkembangannya persoalan agama menjadi dasar terjadinya konflik yang serius dan berkepanjangan. Ada beberapa kasus besar dalam periode 10 tahun ini, misalnya kasus pengrusakan gereja di Situbondo, kerusuhan di Rengasdengklok yang menyebabkan kerusakan vihara dan gereja, kerusuhan di Ketapang-Jakarta, pembakaran gereja di Kupang, pengrusakan tempat ibadah agama di Pasuruan, kerusuhan politis yang diarahkan pada kerusuhan antar umat beragama yang terjadi di Ambon & Maluku Utara, serta kerusuhan Poso yang baru-baru saja menyeruak dengan adanya penembakan terhadap seorang pemimpin agama di tempat ibadahnya.

Fenomena tersebut menunjukkan suburnya bibit-bibit permusuhan antar umat beragama. Sementara itu persoalan konflik antar umat beragama ini sulit untuk diselesaikan atau dihentikan karena begitu lamanya tidak mendapatkan solusi sehingga menimbulkan dendam berkepanjangan bagi pengikutnya. Hal ini nampak dari kerusuhan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso, yang berlarut-larut dan diturunkan dari generasi satu ke generasi yang lain, sehingga tinggal menunggu bom waktu pemicu kerusuhan.

Agama dan Perubahan Sosial

Seperti diketahui, persoalan agama merupakan hal yang sensitif, karena menyangkut hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Agama menyangkut kesadaran religius, yang tersembunyi dalam setiap individu. Jadi keimanan beragama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan cara mewajibkan atau melarang agama tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap hak pribadi (Siagian, 1987). Oleh karena itu penghinaan atau penghujatan terhadap suatu agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit untuk diatasi, apalagi hanya memandang dari perspektif hokum positif.

Berdasarkan sejarah masa lalu sebenarnya, menurut Parsen (dalam Koentjaraningrat, 1982) Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama di dunia. Keaneka-ragaman agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan atau pertentangan, namun justru menunjukkan adanya saling toleransi, kerjasama dan saling menghormati.

Lebih lanjut Parsen (Adisubroto, 1993/1994) menjelaskan pula bahwa hanya Indonesia yang mempunyai rasa keagamaan monoteisme yang demikian menyatu secara alamiah dengan masyarakatnya. Hal itu tercermin dalam cara hidup di desa-desa yang tidak lepas dari dasar-dasar religius, seperti misalnya adanya berbagai bentuk selamatan. Ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan yang disakralkan oleh agama tertentu.

Jadi pada dasarnya umat beragama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar untuk mampu hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian searah dengan perubahan yang terjadi di masyarakat menyebabkan perubahan pula dalam hubungan kehidupan keagamaan, antara lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disulut oleh faktor perbedaan agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang mendasar dan bermacam-macam. Perubahan tersebut searah dengan semakin majunya masyarakat menuju era modernisasi dan globalisasi dalam segenap bidang kehidupan.

Modernisasi dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan-perubahan tersebut antara lain meliputi :

1. Bidang politik; dari sistem-sistem yang menganut kekuasaan kepala adat / desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, perwakilan, dan birokrasi. Selain itu persoalan keagamaan "dilarikan" menjadi persoalan politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk membesarkan suatu kelompok / sekte agama tertentu. Akhirnya persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya.
2. Bidang teknologi; masyarakat yang sedang berkembang mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional ke arah penggunaan teknologi hasil pengetahuan ilmiah. Perangkat tehnologi komunikasi yang semakin canggih akan mengurangi sensitivitas dan keterdekatan secara social antara satu individu dengan individu lainnya. Akhirnya akan mempermudah pada keberpihakan pada kepentingan individual daripada menuntaskan kepentingan bersama.
3. Bidang pendidikan ; masyarakat sekarang berusaha keras meningkatkan kemampuan baca tulis dan mengurangi buta huruf untuk menambah pengetahuan dalam berbagai hal/bidang kegiatan. Namun demikian berpengaruh pula dalam penafsiran akan Firman Allah yang mulai menggunakan rasio (logika). Hal inipun menjadi bibit persoalan internal kelompok beragama maupun antara umat berlainan agama. Padahal kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah teks selalu banyak mengalami kelemahan (Jamuin, 1999), apalagi menyalahi ketentuan Agama (Mudzakarah dalam Almuslimun, 1998).
4. Bidang sosial ; adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada desa/adat istiadatnya serta kepatuhan pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Selain penyelesaian persoalan yang bisa dilakukan secara adat/ budaya berubah menjadi penyelesaian secara hukum. Padahal sebagaimana diketahui penyelesaian hukum tidak akan efektif karena akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan berbelit-belit.

Masih banyak lagi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya pengaruh sosial dari kekuatan sosial yang bermacam-macam bentuknya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa / masyarakat di dunia ini. Pada penelitian Chen (dalam Brouwer,1989) tentang proses modernisasi di Singapura menemukan bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan akibat adanya modernisasi di segala bidang kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan relasi paternalistis dalam perusahaan, relasi antara anak dan orang tua yang semakin mengendor, gotong royong dan hidup bersama menjadi berkurang serta relasi persaudaraan yang longgar.

Kemajuan teknologi dari negara-negara Barat mau tidak mau akan terus merambah deras ke negara-negara lain di dunia ini, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Masyarakat dunia akan menganggap bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan. Hal ini karena modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya (Matulessy, 1992). Namun demikian seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai hubungan sosial atau keberagamaan.

Faktor Penyebab Pertentangan Antar Umat Beragama

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan antar umat beragama, antara lain:

1. Adanya prasangka sosial
Prasangka merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya. Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen (merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.

2.Fanatisme yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama
Pertentangan antar umat bergama bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-agungkan agamanya, namun menganggap rendah agama lain. Akhirnya segala hal yang menyangkut agama lain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati. Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar umat beragama. Hal ini oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah kehidupan yang lain.

3.Kurangnya komunikasi
Suatu pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam mengkomunikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan diantara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan beragama, suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh agama tertentu dipersepsikan keliru oleh agama yang lain. Hal tersebut karena kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara umat beragama agar tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang dikomunikasikan.

4. Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan social, politik, ekonomi
Kepentingan agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya. Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertikaian dalam kehidupan beragama. Memang dalam sejarah banyak sekali variasi dalam hubungan antara agama dengan kekuasaan dan negara, sebagaimana contoh dari sejarah umat Kristen (Siagian, 1987) sebagai berikut :

a. Hubungan pertentangan, agama menantang penguasa dan negara yang dianggap sebagai golongan yang jahat. Dalam hal ini agama tidak mau tahu tentang persoalan politik, tujuannya hanyalah mengatur keselamatan penganutnya.
b. Hubungan kebersamaan, agama dianggap identik dengan pejabat tinggi/ politik atau penguasa politik
c. Hubungan dominasi, antara tokoh agama dan politik saling menguasai secara politik.
d. Hubungan pemisahan, agama lepas sama sekali dari negara dan tidak mau campur tangan dalam masalah pemerintahan.
e. Hubungan dialogis, agama berusaha mempengaruhi negara tanpa menguasainya dan negara mengharapkan dukungan dari agama. Biasanya di Indonesia terjadi situasi seperti ini ada kesan "malu-malu" dari tokoh agama untuk masuk ke panggung politik, begitu juga para penguasa pemerintahan sulit bergerak bila tidak mendapatkan dukungan dari tokoh agama, namun tidak ingin mereka terlalu berkuasa di pemerintahan.

5. Kurangnya wawasan akan ilmu keagamaan
Sebagaimana diketahui cara pemahaman masyarakat akan kehidupan beragama lebih diarahkan pada kegairahan beragama, bukan pada perluasan cakrawala keagamaan. Akhirnya masyarakat lebih mementingkan kharismatisme dan pengkultusan tokoh agama, bukan pada cara-cara menggunakan analisis atau pemahaman hakekat keagamaannya (Isngadi dalam Surya, 11 April 1997). Hal inilah yang kadang-kadang bisa menimbulkan deindividuasi pengikut keagamaan untuk selalu mengikuti kehendak pemimpin keagamaan yang belum tentu selalu benar.

6.Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan agama. Agama bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.

Menggalang Toleransi sebagai Solusi Efektif dalam Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama
Permasalahan-permasalahan konflik antar umat beragama seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih komprehensif. Beberapa solusi tersebut antara lain :

1. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar umat beragama.
2. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan.
Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit didapatkan serta dukungan dari tokoh agama dan anggota kelompok agamanya membuat polisi sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.
3. Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan.
Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara umat beragama, serta refleksi & renungan keagamaan untuk mensikapi perbedaan visi keagamaan.
4. Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik
Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan agama merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpin agamanya (politik), ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan agamanya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.

Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok keagamaan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar agama. Pembinaan pada pemeluk agama diarahkan pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas. Sekali lagi orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok ukur dalam menilai orang lain pun akan meyulitkan seseorang untuk bertoleransi dengan orang atau kelompok lain.

Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”. Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs, perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama.

Tanpa adanya toleransi antar kelompok agama, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai.

Read More..

RESOLUSI KONFLIK DALAM PEMILU 2004




Andik Matulessy


Analisis Psikologi Politik
Diberikan dalam Psycho Expo Fak. Psikologi Universitas Indonesia
Jakarta,3 Maret 2004



Pendahuluan

Pemilu 2004 ini merupakan ajang pesta demokrasi kedua setelah era reformasi 1998. Pada Pemilu inilah diharapkan akan menjadi proses belajar dan pendewasaan politik . Selain itu sejak Pemilu 1999, nampak sekali civilized democracy dilakukan, tidak seperti sebelumnya yang mengandalkan pada authoritarian democracy. Pada saat awal memang proses politik nampak sekali demokratis, Jurdil dan transparans, sebagai akibat dari tuntutan sebagian besar masyrakat yang tidak menginginkan adanya single majority dari suatu parpol tertentu. Ditambah lagi banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang dibentuk oleh kalangan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat asing diperbolehkan untuk memantau pesta demokrasi tahun 1999 tsb. Namun demikian syarat peserta partai pemilu yang sangat mudah, membuat banyak parpol yang sekedar “jual obat”, laris tidak laris tutup pindah ke tempat lain. Selain itu sentimen akan partai “orba” membuat partai yang sebelumnya siap menang dan ternyata menang telak, tidak siap memunculkan kader partai yang berkualitas, sehingga banyak anggota legislative yang “plin plan”, aji mumpung dan sama sekali tidak memiliki sensitivitas akan kehidupan masyarakat.

Lebih jauh lagi pemilu 1999, muncul ekses akibat “no party will win a majority in elections”, yakni kabinet pelangi yang rentan akan instabilitas, money politic dan politik dagang sapi. Maka jatuhlah Gus Dur yang hanya 8 bulan berkuasa pada saat itu, dan berganti dengan Megawati yang sebelumnya sangat bergantung pada Gus Dur. Jadi pendewasaan politik ternyata belum muncul walaupun reformasi muncul. Pada saat itulah bibit-bibit konflik yang dulunya terkutub antara masyarakat bawah dengan penguasa tunggal Orba, berganti dengan konflik antara grass root masing-masing parpol. Dan saya yakin dendam itu akan berlanjut pada pemilu pada tahun 2004 ini.

Apa yang Terjadi pada Pemilu 2004

Pada proses pemilu tahun 2004 ini, memang nampak terjadi perubahan besar, utamanya terkait dengan Undang Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilu serta Undang-undang nomor 31 tahun 2002. Pada kedua Undang undang tsb, mengatur sangat ketat parpol mana yang bias menjadi peserta pemilu. Walaupun dalam proses pembuatan terjadi tarik menarik serta bargaining di antara para anggota dewan legislative yang mengesahkan undang-undang tsb, yang tentunya diharapkan lebih mengedepankan kepentingan kelompok tsb. Sebagai contoh, dalam undang-undang yang mengatur pula tentang persyaratan presiden dan wakil presiden, banyak sekali tawar menawar yang menunjukkan keinginan untuk meng-gol-kan kepentingan kelompoknya bukan kepentingan masyarakat secara luas.

Hal yang menggembirakan adalah verifikasi untuk menentukan parpol yang melewati tahap yang melelahkan bagi parpol yang tidak masuk dalam electoral treshold dalam pemilu 1999 (6 parpol, PDIP, Golkar, PKB, PAN, PBB,PPP ), hasilnya dari 240 parpol yang mendaftar, hanya 18 parpol yang memenuhi syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu. Ini sesuatu yang baru di dunia demokrasi Indonesia, sebagai akibat munculnya KPU yang benar-benar diseleksi ketat serta independen. Tidak seperti pemilu 1999 dimana PPU berasal dari unsur parpol dan pemerintah. Hal lain adalah persyaratan anggota caleg yang sangat kompleks diharapkan akan memunculkan tokoh-tokoh yang memang berkualitas. Selain itu mulai diberlakukan system pemilihan yang tidak hanya mengandalkan pada tanda gambar tetapi juga nama atau foto calon legislative, ibarat memilih kucing di dalam karung, maka pada pemilu kali ini masyarakat memilih kucing dan karungnya. Ditambah lagi kuota perempuan 30% pada setiap caleg yang harus dimunculkan oleh parpol, akan memberi ruangan serta suasana lebih nyaman dengan kehadiran kelompok dengan jumlah penduduk terbesar tetapi kurang mendapatkan tempat dalam penempatan di legislative. Setiap parpol yang tidak menempatkan perempuanpada kuota tsb, akan diumumkandi media massa.

Pemilu 2004 dan Konflik

Konsep yang bagus dalam pelaksanaan pemilu 2004 tidak kemudian menghilangkan begitu saja kemungkinan terjadinya konflik, utamanya pada level grass root. Beberapa hal yang bias menimbulkan konflik antara lain :

1. Banyaknya parpol yang mendulang suara pada satu basis massa yang sama, seperti PKB, PPP, PBR, dsb. Pada kondisi ini mereka dihadapkan pada persaingan internal, karena organisasi keagamaan seperti NU, telah menunjukkan kenetralannya pada level elit politik, namun pada level di bawahnya tidak banyak diikuti oleh para kyai politik yang memiliki mass yang tidak sedikit. Akhirnya perebutan massa tersebut mengakibatkan perseteruan yang hangat sampai terjadi pembunuhan, seperti kasus di Lumajang Jawa Timur.
2. Persoalan internal parpol terutama sekali dalam penentuan nomor urut, banyak caleg bermasalah, penentuan kontribusi sebagai caleg, tuntutan lebih organisasi pada caleg, munculnya kepengurusan ganda, dsb akan menyulut konflik antar anggota parpol.
3. Munculnya kelompok orba jilid kedua. Munculnya kelompok ini secara terang-terang akan menimbulkan “panas” pada kelompok yang menyebut dirinya reformis. Tanda-tanda ini mulai muncul engan banyaknya hujatan pada parpol yang mencoba menarik simpati dari kelompok pro status-quo. Kelompok reformis ini akan bertambah besar apabila kaum mahasiswa yang lagi “puasa politik” nantinya akan turun ke jalan.
4. Sinyalemen dari kelompok militer tentang akan adanya sabotase yang ingin menggagalkan pemilu patut dicermati, karena tentunya mereka menggali informasi dari berbagai kalangan dan lokasi, sehingga data merekapun bias saja sangat kuat, walaupun ada yang mengatakan “tendensius” kelompok militer untuk masuk pada perpolitikan nasional. Atau yang paling menakutkan lagiada kelompok yang memanfaatkan sinyalemen tsb untuk “mempraktekannya agar nampak benar.
5. Parpol yang gagal dalam berbagai verifikasipun memiliki kemungkinan untuk masuk dalam peta konflik, karena mereka sudah mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu yang sangat besar. Jadi terlaksananya pemilu akan semakin membuat “sakit hati” dari barisan parpol tsb. Memang indikasi ini kurang begitu terbukti, tapi tentunya dalam sejarah manapun dendam politik sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
6. Ketidaksetujuan akan pemilu bisa saja dilakukan dengan cara “topo bisu”, yakni menjadi golput,kelompok yang sangat ditakuti oleh pelaksana pemilu karena akan menjauhkan hasil pemilu yang legitimate secara de facto. Sama dengan pemilihan kepala desa yang antara calon dengan “bumbung kosong”, lidinya banyak masuk di bumbung kosong itu. Oleh karena itu banyak pamflet dan iklan di TV yang menginginkan banyaknya peserta pemilu yang aktif memilih, tidak hanya sebagai oposan pasif.
7. Fanatisme akan kelompok juga akan menumbuhkan kemungkinan besar munculnya konflik di antara para pendukung / massa parpol. Fanatisme yang dibangun dari etnis, ideology, bahkan agama akan bias membuat terjadinya deindividuasi, penghilangan identitas diri dari individual mind beralih menjadi collective mind, yang rentan akan tindakan destruktif, emotional, suggestible, dan iritable. Fanatisme akan semakin memuncak saat muncul pemimpin yang sangat provokatif dan menggunakan konflik sebagai cara untuk menggalang massa.
8. Kampanye jalanan juga akan menumbuhkan konflik yang berkepanjangan, karena pada saat itu kemungkinan munculnya pertemuan langsung dengan anggota parpol lain atau atributnya akan memungkinkan munculnya konflik langsung yang destruktif antar kelompok tsb. Karena pada saat massa berkumpul dalam sebuah space yang sangat luas tidak memungkinkan adanya penghindaran mereka untuk tidak berlaku negatif.
9. Fenomena money politics bisa juga meningkatkan eskalasi konflik, utamanya pada parpol yg “kering”, yang mengandalkan pada loyalitas anggota akan merasa “tersinggung” dengan adanya tokoh dari parpol lain yang lebih “kaya” mampu membeli suara dari pendukung/ massa tsb.
10. Floating mass yang terbentuk akibat janji-janji muluk partai di era reformasi yang tidak bisa lagi dipercaya, akan memunculkan antipati terhadap parpol manapun yang mencoba menjual ide dalam kampanye pemilu.
11. Kurang optimalnya kerja KPU utamanya dalam menyiapkan perangkat sarana dan prasarana pemilu seperti kotak suara, kertas suara, bilik suara, petugas PPS, TPS, dsb merupakan hal yang sensitive sehingga bisa menggagalkan pelaksanaan pemilu 2004.

Resolusi Konflik Antar Parpol

Konflik antar parpol tidaklah sama dengan konflik antar individu, pada penanganan konflik antar parpol tetunya lebih banyak mengedepankan pada penyelesaian politis daripada penyelesaian secara individual. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi dasar resolusi konflik tsb, antara lain yang dikemukakan oleh David Myers dalam bukunya exploring social psychology, yakni :

1. Regulation : perlu ada sebuah tatanan cara bermain yang adil bagi kelompok parpol tersebut. Selain itu ketegasan terhadap pelanggaran oleh parpol manapun akan mengurangi terjadinya konflik. Oleh karena itu perangkat hukum yang digunakan harus independen dan tidak berorientasi pada parpol yang sekarang berkuasa. Pada saat sebuah pelanggaran dibiarkan atau tidak ada penyelesaian yang tegas (probability of resolution discontent), maka konflik akan semakin besar.
2. Small is beautiful: Dalam kelompok yang kecil masing-masing anggota kelompok lebih responsible, effective dan identified with group success. Selain itu akan semakin meningkatkan pula kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu pemampatan jumlah peserta pemilu diharpkan juga tidak menimbulkan “rasa lebih” dari para anggotanya, sehingga membuat mereka merasa memiliki peluang yang sama, walaupun secara realitas tidaklah demikian.
3. Communication : Komunikasi merupakan kesempatan untuk saling bertukar informasi dan perasaan. Jadi hilangnya atau terhambatanya komunikasi akan menumbuhkan mistrust di antara kelompok tsb. Padahal rasa percaya satu dengan yang lain menjadi sebuah dasar munculnya interaksi yang berkelanjutan. Selain itu komunikasi akan memudahkan terjadinya agreement dari masing-masing pihak yang saling berkonflik. Komunikasi dalam pemilu sebenarnya sudah banyak difasilitasi oleh Muspida dengan pembentukan Forum Komunikasi Antar Parpol, namun demikian ada beberapa parpol yang merasa bahwa pengaruh parpol besar masih sangat dominan mewarnai keputusan Forkom tsb.
4. Changing the Payoffs : Pembalikan manfaat akan sebuah kejadian akan sangat penting untuk mengurangi konflik, utamanya memberikan rewards adanya kerjasama dan punishment dari adanya eksploitasi yang mengarah kepada konflik. Banyak sekali persoalan yang terjadi di parpol yang kemudian mendapatkan “angin” untuk tidak diselesaikan secara tuntas, utamanya pada parpol besar yang masih mengandalkan kekuatan bargaining politiknya.
5. Appeals to Altruistic Norms : Perlunya para pemimpin parpol melihat sebuah perilaku dari anggotanya yang fanatis pada parpol disikapi dengan mengarahkan pada keinginan untuk bekerjasama dengan parpol, bukan malah memprovokasi untuk berkonflik. Karena pemimpin parpol sangat menentukan massa di level grass root ini akan diarahkan kemana. Adanya tanggung jawab social bahwa pemilu ini akan menjadikan sarana menuju bangsa yang lebih baik akan menjadi sebuah ungkapan sejuk untuk tidak melakukan tindakan negatif.

Pengatasan konflik tersebut tidak akan efektif tanpa membuat perubahan akan system itu sendiri. Perubahan system bisa dilakukan oleh anggota legislative dan eksekutif yang kita pilih nantinya. Pilihan salah akan mengarahkan pada kondisi system yang “mandek” dan tidak akan mendekatkan Indonesia Baru yang dicita-citakan dalam reformasi.

Read More..