Kamis, 28 Oktober 2010

Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah Berdasarkan Kompetensi

Andik Matulessy

Disampaikan dalam Rangka Pengembangan Mind Set
Pejabat Eselon III Kab. Pamekasan 9 Mei 2008


…..I reviewed studies indicating that traditional academic aptitude and knowledge content tests, as well as school grades and credentials : did not predict job performance or success in life; were often biased against minorities, women and persons from lower socioeconomic strata (David Mc Clelland)

Pendahuluan

Kompetensi menjadi sebuah bahasan yang sangat menarik perhatian bagi banyak orang saat ini. Pembahasan kompetensi tidak hanya di perusahaan swasta ataupun nasional, namun menjadi kajian di kalangan birokrasi pemerintah dan pengambil kebijakan publik. Begitu banyak orang menjudgement bahwa kompetensi itu sangatlah penting dan tidak akan lama lagi akan menjadi virus yang akan mewabah di seluruh bagian dunia ini sama seperti boom virus n-achievement yang dimunculkan oleh Mc Clelland, namun demikian belum ada sebuah consensus tentang kompetensi, cara pengukuran serta implementasi dari kompetensi itu sendiri.

Hal ini sangat penting bila dikaitkan dengan institusi birokrasiatau organisasi yang harus mengedepankan output dan outcome yang memiliki kompetensi yang diharapkan pada pegawainya. Artinya harus bisa memilahkan pegawai yang kompeten, kurang kompeten atau sangat kompeten di bidangnya, baik dalam tataran birokrasi pemerintahan, sipil atau militer, institusi swasta ataupun negeri, maupun organisasi kemasyarakatan yang lain. Hal tersebut karena adanya pegawai yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaannya, lambat laun akan mengarahkan tercapainya produktivitas organisasi.

Sebagaimana diketahui dalam lingkungan yang semakin kompetitif dan global, banyak organisasi yang kesulitan untuk menentukan indikator kapabilitas pegawai yang diharapkan mencapai peak performance atau kesuksesan. Apalagi bila dikaitkan dengan keberadaan pegawai pada organisasi yang lebih kompleks, maka kapabilitas yang dibutuhkan tidak hanya mempertimbangkan satu unit saja tapi keterkaitan dengan unit-unit yang lain di dalam organisasi tersebut. Jadi pegawai tidak hanya dituntut mampu memahami suatu persoalan secara monodisiplin namun merambah pada kemampuan yang sifatnya multidisipliner. Ditambah lagi keberadaan organisasi yang tidak terbatas pada satu negara saja, tetapi melintas pada hubungan ke beberapa negara lain, maka membutuhkan kompetensi yang semakin detail dan kompleks.

Namun demikian situasi dan kondisi ke depan seperti itu nantinya nampaknya tidak begitu direspon oleh sebagian institusi pemerintah dengan baik, utamanya pada organisasi yang kental dengan nuansa birokrasi. Pegawai di organisasi tersebut cenderung bersikap seperti robot, yang senantiasa menunggu “perintah” untuk mengejawantahkan tugas yang diberikan oleh para manajemen. Hal itu nampak sekali dari pelaksanaan tugas yang sangat kaku, searah, tanpa diskusi panjang, tanpa ada adu argumentasi di antara pegawai itu sendiri atau antara pegawai dengan pihak manajemen. Kalaupun ada satu atau dua pegawai yang aktif, lebih sekedar mengkonfirmasi atau mengungkapkan ketidaksetujuan. Walaupun tidak disangkal kondisi seperti ini disebabkan pula oleh atasan yang lebih senang pegawainya untuk selalu patuh pada informasi yang diberikan dan membelenggu kekritisan dengan sikap otoriternya. Di sisi lain daya kritis pegawai hanya terbatas wacana sederhana tanpa didasari oleh pijakan logika ilmiah yang didapatkan dari pemahaman berbagai sumber bacaan atau pengalaman memadai, serta berbagai informasi terkini tentang aturan atau pengembangan SDM. Padahal cara mendapatkan pegawai yang kompeten adalah kegairahan kita untuk menelusuri berbagai tulisan atau deskripsi ilmiah, aktif berorganisasi dalam lingkup komunitas SDM, serta meningkatkan berbagai skill sesuai dengan perkembangan saat ini.

Saya melihat bahwa kondisi seperti di atas disebabkan oleh bervariasinya jenis pegawai pada organisasi atau institusi, yang memang didasarkan pada input yang sangat bervariasi, baik dari segi pendidikan, motivasi dan latar belakang sosial ekonomi. Berbagai jenis pegawai inilah yang memunculkan konsekuensi sulitnya menetapkan bahwa seluruh pegawai akan kompten di bidangnya. Belum lagi input yang berasal dari pegawai atau pegawai yang didasarkan oleh like dan dislike, tanpa melihat kapasitas yang memadai.

Oleh karena itu output dari organisasipun menjadi sangat bervariasi, ada yang sangat kompeten di bidangnya namun ada pula yang sangat tidak kompeten. Hal tersebut karena pencerapan materi, pembiasaan diri untuk berfikir kritis-rasional, memunculkan kreasi, melapangkan ranah kognitif, meningkatkan emotional quotient, adversity quotient, spiritual quotient, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik untuk didapatkan saat berada di dalam organisasi. Ujung-ujungnya sulit untuk mendapatkan tingkat produktivitas institusi birokrasi yang optimal.

Definisi ,Pengertian,Jenis dan Cara Mengoptimalkan Kompetensi

Terminologi Kompetensi didapatkan dari kata compete, yang berarti mengambil bagian dalam balapan, kontes, ujian, dsb; competence yang berarti memiliki kemampuan dalam pekerjaan tertentu, pendapatan yang cukup bagi seseorang untuk hidup dalam kesenangan, serta memiliki legal capacity dalam hukum dan akademik; dan competent yang diatributkan pada seseorang yang dianggap memiliki kemampuan (ability), kekuatan (power), otoritas (authority), kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge), etc.(The Advanced Learner s Dictionarry of Current English). Sementara itu Echols dan Shadily mendefinisikan kata compentency sama dengan competence yakni kecakapan, kemampuan dan wewenang.

Banyak ahli yang mencoba untuk mendefinisikan dan menguraikan arti dari kompetensi. Salah satunya adalah Armstrong (2000) yang mendefinisikan istilah competence dan competency secara berbeda:

1. Competences menggambarkan apa yang dibutuhkan seseorang agar mampu mengerjakan sesuatu dengan lebih baik. Selain itu konsep competences lebih terfokus pada dampak yang diakibatkan daripada usaha yang dilakukan, atau lebih menekankan output daripada input itu sendiri. Lebih jauh lagi competences didefinisikan pada 3 tingkatan, yakni:

a. Core competences: competences which apply to the organization as a whole

b. Generic Competences: competences shared by a group of similar job
c. Role Specific Competences : competences which are unique to a particular role

2. Competency didefinisikan sebagai dimensi perilaku yang menentukan performans yang kompeten. Seringkali diistilahkan sebagai behavioral competency yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana seseorang akan berperilaku ketika mereka mendapatkan suatu peran tertentu. Oleh karena itu di dalam pengukuran pada competency harus bisa mendapat indikator perilaku pada suatu jabatan / posisi tertentu. Indikator-indikator itulah yang akan menjadi dasar kompetensi pada jabatan/ posisi tsb.


Sementara itu Raymond A. Noe (2005) mendefinisikan kompetensi sebagai areas of personal capability that enables employees to successfully perform their jobs by achieving outcomes or accomplishing tasks. Jadi kompetensi bisa berarti pengetahuan, kemampuan, sikap, nilai atau karakteristik personal yang lainnya yang harus dimiliki pegawai pada posisi tertentu agar dia sukses dalam mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan. Lebih jauh lagi Noe mengungkapkan bahwa konsep kompetensi tersebut memiliki konsekuensi pada pembuatan competency model. Artinya competency model nantinya terkait erat dengan job analysis, yakni suatu proses untuk mengembangkan gambaran dari sebuah pekerjaan (tasks, duties & responbilities) dan spesifikasi (knowledge, skills & abilities). Perbedaannya adalah job analysis lebih terfokus pada work&task focused, sedangkan competency lebih fokus pada workers-focused. Namun keduanya menjadi dasar dalam menyusun sebuah model kompetensi tertentu.

Sementara itu Spencer (1993), menerangkan bahwa kompetensi adalah cara berperilaku atau berfikir, menggeneralisir situasi, dan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Selanjutnya menurut Spencer, ada 5 macam karakteristik dari kompetensi, yakni :

1. Motives, sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan seseorang secara konsisten utamanya yang menjadi penyebab dari sebuh perilaku; motif yang dimaksud di sini adalah motif untuk berprestasi lebih baik.
2. Traits, karakteristik fisik dan respon yang konsisten pada situasi atau informasi tertentu
3. Self concept, sikap, nilai atau pandangan tentang diri seseorang.
4. Knowledge, informasi seseorang tentang masalah spesifik tertentu
5. Skill, kemampuan untuk menyelesaikan tugas fisik dan mental tertentu

Pengetahuan dan skill lebih mudah untuk dikembangkan dalam kehidupan nyata, karena terkait dengan masalah kognitif. Dengan cara membentuk struktur kognitif baru berdasarkan informasi, fakta, pengetahuan, maka seseorang bisa lebih mudah bergeser untuk memiliki pengetahuan dan skill yang lebih baik. Sedangkan self concept lebih banyak ditentukan oleh perpaduan antara internalisasi nilai-nilai dan sosialisasi secara vertical, horizontal dan menyamping (oblique). Artinya bisa saja terjadi perubahan mendasar apabila lingkungan melakukan perubahan. Persoalannya adalah .pada bagian yang terkait dengan personality, seperti trait dan motives, yang relatif lebih bersifat innate dan sangat sulit untuk dikembangkan.

Sebagaimana diketahui semua orang di dunia ini mempunyai kekuatan yang bersumber dari dirinya, namun seringkali masih dalam bentuk potensi. Banyak ahli Psikologi berpendapat bahwa setiap individu mampu mengembangkan dirinya dan mengubah menjadi lebih baik. Namun demikian, ternyata banyak juga yang merasa tidak mempunyai kelebihan, tak berguna dan sulit menapak pada kebutuhan puncak menurut Maslow yakni mencapai aktualisasi diri. Oleh karena itu banyak yang terhambat pengembangan dirinya dan membutuhkan tekanan internal dan eksternal tertentu agar berkembang dengan lebih baik. Robbins (dalam Santi, 2005) menyatakan bahwa perubahan seseorang (termasuk pengembangan diri) harus memiliki 3 keyakinan dasar dalam dirinya, yaitu : 1) ia mau berubah, 2) ia harus berubah, dan 3) ia dapat berubah. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan diri individu memerlukan kesadaran dan motivasi untuk berubah, serta pengetahuan tentang cara-cara pengembangan diri.

Sejak dulu kala banyak orang bijak yang menyarankan untuk mengenali diri. Socrates terkenal dengan kata-katanya “cogito orgo sum” kenalilah dirimu, karena dengan cara mengenali diri maka diharapkan dapat menjalani kehidupan secara lebih efektif. Sun Tzu (400 SM) menjelaskan 3 dalil tentang pentingnya mengenal diri, yakni : a) jika kamu mengenal dirimu dan mengenal musuhmu, maka kamu sudah berada di ambang kemenangan, b) jika kamu mengenal dirimu, namun tidak mengenal musuhmu, maka peluang menang adalah sama besar, c) jika kamu tidak mengenal dirimu dan tidak mengenal musuhmu, maka kamu pasti akan kalah dalam setiap pertempuran (Koentjoro, 2005).

Pengenalan diri sangatlah penting, karena dengan mengenal diri maka akan memperoleh 5 manfaat penting kehidupan, yaitu : a) mengetahui kebutuhan hidup yang sesungguhnya, b) mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, c) memanfaatkan kekurangan dan kelebihan untuk mencapai cita-cita, d) mampu mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan pada masa lalu, dan kemudian digunakan sebagai modal dasar menempuh kehidupan yang lebih baik di masa mendatang, e) untuk merencanakan masa depan yang lebih terarah dengan kebenaran yang tinggi.

Bagaimana cara seseorang mengenal lebih baik dirinya ? Sebenarnya sudah sering seseorang melakukan pengenalan diri, namun pengenalan yang dilakukan tidak sistematis dan hanya menjawab problem hidup saat itu. Ada 3 cara untuk mengenal diri, yaitu : a) introspeksi yaitu melihat diri sendiri atau bercermin tentang diri sendiri. Kelemahan utamanya adalah diri yang didapat adalah diri subjektif menurut pandangan sendiri, b) meminta umpan balik orang lain, artinya meminta pendapat orang lain tentang diri sendiri. Kelemahannya adalah pendapat tersebut juga subjektif menurut si pemberi masukan, c) membaca dan memahami buku-buku orang bijak. Kelemahannya barangkali situasi dan kondisi kurang sesuai dengan diri sendiri.

Dengan berbagai cara tsb di atas diharapkan kita bisa merengkuh karakteristik kompetensi yang tidak mudah untuk dipelajari seperti halnya pengetahuan atau materi informasi pada ranah kognitif.

Pengungkapan Kompetensi

Banyak yang menyangsikan kemampuan sebuah organisasi untuk mampu mengukur kompetensi pada setiap jabatan atau pekerjaan dari sumber daya manusia yang terlibat dalam organisasi tersebut. Pengukuran kompetensi pada setiap unit dan jabatan tertentu sangatlah bervariasi, sehingga diperlukan waktu yang relatif lama serta dengan model assessment yang jitu pula agar hasil yang didapatkan benar-benar mencerminkan kompetensi yang diperlukan.

Banyak yang mengawali pengungkapan kompetensi ini dari proses diskusi kelompok terpusat (FGD), ada yang menggunakan pola training untuk mendapatkan mendapatkan core competencies (Phillips & Drewstone, 2002), bisa pula dengan menggunakan structured & unstructured interview (Hughes et al, 1999), menggunakan metode scaling (Spencer, 1993), menggunakan workshop approach (Armstrong, 2000).

Lebih jauh lagi Bassett (dalam Nankervis et al, 1996) memunculkan strategic model of competency based training, yang mencakup 5 langkah penting:

1. Organisational scan, menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan jawaban what are we going to do & where are we going,
2. Strategic planning, terkait dengan langkah-langkah dalam mencapai tujuan
3. Competency profiling: menemukan skill, ability, personality characteristic, dan hal-hal lain yang terkait dengan kompetensi tertentu
4. Competency gap analysis, melakukan analisis kesenjangan antara kompetensi seharusnya dan hal-hal yang telah dimiliki
5. Competency development, untuk mengurangi kesenjangan kompetensi antar staf atau unit dalam organisasi, maka perlu dipikirkan mendalam tentang pelatihan yang harus dilakukan atau penggunaan konsultan dalam menerangkan dan menerapkan kompetensi

Selanjutnya Nankervis et al (1996) mengemukakan beberapa langkah dalam melakukan competency profiling, antara lain:

1. Melakukan berbagai model interview untuk mendapatkan tujuan dan misi organisasi, dimensi dari berbagai target level, situasi bisnis terkait, serta factor-faktor yang meningkatkan kesuksesan
2. Menganalisa isi dari berbagai dimensi dari berbagai target level tsb
3. Mereview kompetensi yang didapatkan dengan cara menemukan pemahaman akan makna kompetensi, menilai apakah kompetensi yang diinginkan merefleksikan karakteristik perilaku tertentu
4. Mengulang-ulang review sampai muncul komitmen bersama tentang gambaran kompetensi yang diharapkan organisasi
5. Memunculkan dan memperkenalkan list kompetensi yang didapatkan yang lebih operasional sehingga mudah untuk dikritisi sebelum diterapkan pada seluruh orang

Tantangan Kompetensi di Era Global

Di dalam era globalisasi yang menuntut kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda, maka diperlukan kompetensi yang kompleks pula. Bagi institusi atau organisasi yang besar, maka membutuhkan pelaku organisasi yang memiliki kompetensi yang berbeda dengan individu pada umumnya, utamanya para international manager yang dituntut untuk mampu menanggulangi berbagai perbedaan nilai kultur. Schneider dan Barsoux (2003) menetapkan beberapa kriteria kompetensi dari International Manager, antara lain :

1. Interpersonal skills, kemampuan membangun hubungan baik, menjalin pertemenan, building trust, serta mampu melakukan transfer knowledge pada kultur yang berebeda
2. Linguistic ability, kemampuan ini penting untuk meningkatkan kontak social yang lebih langgeng
3. Motivation to live abroad (cultural curiousity), menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai kultur yang sama sekali berbeda
4. Tolerance for uncertainty & ambiguity, dalam interaksi dengan orang-orang yang berbeda budaya, maka kemampuan untuk bertoleransi dan melakukan coping pada situasi yang tidak menentu sangat lah penting
5. Flexibility, tidaklah mungkin mengharapkan kelangsungan kontak antar kultur apabila tidak ada kemampuan untuk selalu membuka diri terhadap perubahan
6. Patience & respect, berlaku sabar dan menghargai orang merupakan golden rule dalam bisnis internasional
7. Cultural emphaty, focused listening dan pendekatan yang tidak mudah untuk melakukan judgment pada orang lain menolong seorang manager untuk memahami cara berfikir orang lain
8. Strong sense of self (ego strength), kemampuan ini menunjukkan healthty narcism, yang nampak dari kemampuan untuk berinteraksi dengan nilai-nilai budaya lain tanpa ketakutan kehilangan identitas dirinya. Termasuk pada kompetensi ini adalah kemampuan untuk selalu terbuka terhadap kritik dan umpan balik dari orang lain
9. Sense of humour, humor menjadi sesuatu yang penting sebagai mekanisme coping dan relationship building, selain itu humor bisa menjadi cara untuk memecahkan kekakuan, untuk lebih menetapkan hubungan dengan orang dan meminimalisir isu yang terjadi.

Kesemua hal itu akan menjadi tantangan bagi pegawai untuk selalu meningkatkan potensinya guna merengkuh peran dan posisi ideal yang diharapkan nanti bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Kajian Pustaka

Armstrong, Michael. 2000. The Art of HRD : Human Resource Management. Crest Publishing House. New Delhi.

Armstrong, Michael. 2000. The Art of HRD : Managing People. Crest Publishing House. New Delhi.

Hughes,Richard L., Ginnett, Robert C., Curphy, Gordon J. 1999. Mc Graw-Hill Book Co. Singapore.

Nankervis,Alan R., Compton, Robert L., McCarthy,Terence E. 1996. Strategic Human Resource Management. An International Thompson Publishing Company. South Melbourne.

Philips,Jack J & Drewstone,Ron. 2002. How to Measure Training Results. McGraw-Hill. New York.

Schneider,Susan C. & Barsoux, Jean-Louis. 2003. Managing Across Cultures. Prentice Hall. England.

Smither, Robert D. 1994. The Psychology of Work and Human Performance. Harper Collins College Publishers. New York.

Spencer, Lyle M. 1993. Competence at Work : Models for Superior Performance. John Wiley & Sons,Inc. Canada.

Koentjoro. 2005. Meningkatkan Motivasi dan Pemahaman Diri. Makalah Pelatihan. Forest.

Read More..

Motivasi dan Kepemimpinan Organisasi Kemahasiswaan

Andik Matulessy
Diberikan dalam LKMM Fak. Ekonomi Untag Surabaya, 7 Januari 2007


Bayi dilahirkan melewati suatu proses yang panjang, dimulai dari mengalahkan jutaan benih yang lain serta melewati berbagai perjalanan sampai pada akhirnya bisa menghirup udara kehidupan. Tetapi kenapa banyak dari mereka yang di kemudian hari tidak memiliki motivasi untuk hidup ?

Kepemimpinan tidak datang dari langit tapi hadir pada mereka yang memiliki keinginan dan usaha keras


Mahasiswa dan Berorganisasi

Organisasi mahasiswa memiliki karakteristik yang khas / unik, yang tidak sepenuhnya mengikuti tatanan organisasi yang sebenarnya. Hal ini menjadi mafhum buat orang awam karena mereka dianggap masih dalam taraf belajar berorganisasi. Berorganisasi merupakan sebuah proses yang harus dilalui mahasiswa untuk memunculkan pribadi yang tangguh dalam kehidupan riil di kemudian hari. Suatu kesempatan langka yang sulit terulang dalam periode perkembangan selanjutnya, karena setelah lulus seseorang tidak lagi memulai proses belajar berorganisasi tapi sudah dihadapkan pada situasi organisasi yang sebenarnya. Pengalaman saya dalam wawancara kerja terhadap para lulusan menemukan bahwa ternyata kemampuan berorganisasi menjadi tolok ukur yang menentukan kapabilitas seseorang dalam menghadapi dunia kerja nantinya.

Keunikan organisasi kemahasiswaan merupakan konsekuensi dari tipikal mahasiswa yang beraneka ragam, baik dari sisi motivasi, potensi raw material dan pengalaman yang didapatkan sebelumnya. Maman S. Mahayana (dalam Mahasiswa Menggugat, 1998) membagi menjadi 6 kategori mahasiswa :

1. Mahasiswa underdog, pada umumnya berasal dari pedesaan, minder, merasa tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, berusaha menjadi mahasiswa yang baik, tapi memiliki motivasi yang tinggi untuk kuliah
2. Mahasiswa salon, mereka datang dari kota dan latar belakang keluarga kaya, menganggap bahwa kuliah hanya sekedar mengisi waktu agar tidak menganggur, disiapkan untuk melanjutkan usaha orang tua, kampus sebagai ajang pamer kendaraan, serta tujuannya lebih pada mendapatkan “status” mahasiswa bukan ingin mendapatkan ilmu yang berguna nantinya.
3. Anak mamih, berasal dari keluarga menengah atas, motivasinya sungguh-sungguh kuliah tapi tidak peduli kegiatan non-akademis, serta bertujuan untuk segera menyelesaikan kuliah dengan hasil yang memuaskan.
4. Mahasiswa jalan pintas, motivasinya hanya memperoleh gelar, sehingga menggunakan berbagai cara untuk mendapat nilai baik.
5. Mahasiswa pekerja, berasal dari keluarga pas-pasan atau memiliki status sebagai karyawan yang ingin segera merubah nasib, biasanya sungguh-sungguh mengikuti kuliah, bahkan sering pula mengikuti kegiatan kemahasiswaan.
6. Mahasiswa unggulan, berasal dari keluarga terpelajar, latar belakang ekonomi orang tua yang baik dan memiliki kapasitas intelektual bagus, serta seringkali memanfaatkan masa kuliah untuk menempa diri dengan berorganisasi atau kegiatan ilmiah lainnya.

Berbagai jenis mahasiswa inilah yang memunculkan konsekuensi sulitnya menemukan orang-orang yang intens untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan. Selain itu latar belakang mahasiswa tersebut menyebabkan motivasi untuk melakukan organisasipun menjadi berbeda-beda. Ditambah lagi adanya tekanan psikologis dari orang tua dan lingkungan sosialnya menyebabkan mereka lebih memfokuskan pada kuliah dibandingkan berinteraksi dalam suatu organisasi. Kalaupun ikut dalam organisasi mereka menjadi “setengah hati”, menapakkan kaki kiri pada organisasi dan kaki kanan untuk berkonsentrasi pada kuliah. Oleh karena itu sulit bagi organisasi kemahasiswaan untuk memunculkan prestasi yang hebat dalam bidang organisasi maupun akademis. Hal ini nampak sekali dari partisipasi dalam orkem yang hanya sekedar mencantumkan “nama”, namun sepi akan kreasi dan prestasi yang memadai. Akhirnya Orkem hanya sekedar sebuah “playgroup”, kumpulan anak-anak mahasiswa untuk bermain-main, kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, dari pagi sampai pagi berikutnya.

Apabila hal ini berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan akan mengarahkan pada: tidak adanya proses belajar sosial untuk mencapai tingkat idealisme sebagai mahasiswa; hilangnya sense untuk berorganisasi dengan baik, yang terkait dengan keteraturan; mandulnya improvement terhadap organisasi atau tidak adanya prestasi bisa diandalkan, hanya sekedar menjalankan kebiasaan dari generasi sebelumnya; berorganisasi hanya sekedar “pelengkap” untuk mencari teman, lebih menekankan afektif dalam berorganisasi bukan pada sesuatu yang sifatnya kognitif; serta tumpulnya sensitivitas sosial, kurang responsif terhadap berbagai persoalan di luar yang terkait dengan kajian ilmunya. Kalau semua hal tersebut mengalami repetisi (pengulangan), tentunya akan menjadi sesuatu yang kontradiktif dari pencapaian tujuan berorganisasi yang sebenarnya.

Memunculkan Organisasi Mahasiswa dan Pemimpin yang “Ideal”

Organisasi yang ideal tidak selalu berkonotasi dengan kesempurnaan organisasi pada umumnya di perusahaan atau lembaga pemerintahan, namun demikian mencoba untuk realistis dengan kesempatan, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang dimiliki, namun tetap tidak meninggalkan keteraturan dan tercapainya improvement secara individual maupun organisasi. Oleh karena itu ada beberapa saran untuk memunculkan organisasi mahasiswa yang ideal :

1.Sistem seleksi penting untuk dilakukan untuk mendapatkan mahasiswa yang memiliki motivasi berorganisasi yang baik. Hasil seleksi ini menjadi pedoman dasar bagi rekrutmen pengurus organisasi, sehingga didapatkan “the right man in the right place”. Memang konsekuensi dari seleksi adalah sulitnya mendapatkan orang-orang yang berminat untuk “meramaikan” organisasi, tapi sisi positifnya akan didapatkan orang-orang yang memang serius untuk berkiprah dan membesarkan organisasi.
2. Menciptakan “aturan main” dalam berorganisasi, baik dalam hal hak dan kewajiban anggota sampai dengan punishment dan reward bagi mereka. Aturan main ini tentunya tidak bisa lepas dari aturan yang paling tinggi dari Universitas, yakni Statuta yang menjadi landasan dalam berkegiatan seluruh civitas akademika. Kadang penerapan aturan main ini menjadi kendala tersendiri, karena adanya “rasa sungkan”, ketidak enakan untuk menindak teman sendiri yang merugikan organisasi, sulit mengingatkan “senior” yang buat ulah atau menguasai organisasi. Di sini peran pemimpin sebagai pengendali di lapangan menjadi sangat penting. Sifat kepribadian sebagai pemimpin yang baik, penulis ambil dari pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Djamaludin Ancok (2003) sebagai berikut :

a. Mentalitas berkelimpahan (abundance mentality), orang yang suka membagi apa yang dimilikinya dengan orang lain, orang seperti ini merasa bahwa dengan memberi apa yang dia miliki membuat merasa semakin kaya.
b. Berfikir positif pada orang lain, orang yang seperti ini akan melihat orang lain sebagai bagian dari kebahagiaan hidupnya.
c. Mampu berempati, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, kepekaan ini akan membuat ia bisa merasakan kegembiraan dan kesusahan orang lain.
d. Memiliki kemmapuan komunikasi transformasional, selalu memilih kata-kata yang enak didengar bila berbicara dengan orang, walaupun dalamkondisi berbeda pendapat.
e. Orientasi win-win solution, tidak menginginkan kebahagiaan dirinya sementara orang lain harus kalah.
f. Serving attitude, bukan minta dilayani tapi melayani kepentingan orang yang dipimpinnya, selain itu selalu berprinsip senang bila orang lain senang dan susah bila orang lain susah, bukan sebaliknya

3. Berorientasi pada perubahan (change oriented goal), artinya setiap organisasi harus membuat target yang realistis untuk dicapai oleh timnya. Namun demikian target tersebut tidak meninggalkan pencapaian improvement (perbaikan) dari kapasitas atau potensi diri pribadi dan organisasi. Target harus dimunculkan secara bottom-up untuk memberikan share of responbility, semua anggota merasa bertanggung jawab terhadap segala aktivitas dan tujuan organisasi, tidak hanya tujuan kepengurusan saja. Namun demikian kendala pencapaian perubahan tidaklah mudah dilakukan, karena perubahan akan memiliki konsekuensi yang besar, baik dari sisi individual, karena merasa sudah nikmat dengan kondisi sebelumnya, dan secara sosial akan memunculkan sebuah sistem interaksi sosial yang sangat berbeda sekali, sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan keluar dari sistem yang ada. Konsekuensi ini seharusnya bisa dihadapi oleh pengurus yang reformis, apabila memiliki motivasi, niat yang tulus dan yang lebih penting lagi “keberanian” untuk memulai.


Selamat Berorganisasi !!!!!!!!
*****Semakin dekat cita-citamu tercapai semakin berat penderitaan yang kamu alami *****

***Berpikir tentang masa depan akan membuatmu ingin melangkah mencapai yang lebih baik, berpikir tentang masa lampau akan membuatmu terperangkap pada ketidakpastian***

*****Lebih baik menjadi orang kecil tetap BEKERJA sendiri daripada berlagak orang besar tetapi meminta-minta *****

Read More..