Rabu, 03 November 2010

Menggalang Toleransi Guna Mereduksi Konflik Antar Umat Beragama




Andik Matulessy


Diberikan dalam rangka Seminar Internasional
Kerjasama Universitas Kebangsaan Malaysia
dengan
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 23 Agustus 2004



“Orang-orang yang diberi al-kitab tidak berselisih kecuali setelah mereka mendapatkan ilmu karena rasa ingin saling mengalahkan (baghy) di antara mereka” (QS 3:9).

"Bukti kepercayaan terbesar adalah jika seseorang memutuskan bahwa dirinya bukanlah Tuhan"( Oliver Wendell Holmes, Jr)

"Pengalaman agama adalah soal batiniah dan subjektif, juga sangat individualistis. Juga barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama..." ( Mukti Ali)

Pendahuluan

Akhir-akhir ini semakin banyak konflik atau kerusuhan yang bermotifkan keagamaan terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya akan menjadi permasalahan yang mengganggu kelancaran pembangunan yang membutuhkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai suatu stabilitas nasional yang mantap. Permasalahan yang bersumber dari sentimen keagamaan menjadi pertanyaan bagi semua kalangan, karena dalam sejarah selama ini antar umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai.

Padahal dalam perkembangannya persoalan agama menjadi dasar terjadinya konflik yang serius dan berkepanjangan. Ada beberapa kasus besar dalam periode 10 tahun ini, misalnya kasus pengrusakan gereja di Situbondo, kerusuhan di Rengasdengklok yang menyebabkan kerusakan vihara dan gereja, kerusuhan di Ketapang-Jakarta, pembakaran gereja di Kupang, pengrusakan tempat ibadah agama di Pasuruan, kerusuhan politis yang diarahkan pada kerusuhan antar umat beragama yang terjadi di Ambon & Maluku Utara, serta kerusuhan Poso yang baru-baru saja menyeruak dengan adanya penembakan terhadap seorang pemimpin agama di tempat ibadahnya.

Fenomena tersebut menunjukkan suburnya bibit-bibit permusuhan antar umat beragama. Sementara itu persoalan konflik antar umat beragama ini sulit untuk diselesaikan atau dihentikan karena begitu lamanya tidak mendapatkan solusi sehingga menimbulkan dendam berkepanjangan bagi pengikutnya. Hal ini nampak dari kerusuhan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso, yang berlarut-larut dan diturunkan dari generasi satu ke generasi yang lain, sehingga tinggal menunggu bom waktu pemicu kerusuhan.

Agama dan Perubahan Sosial

Seperti diketahui, persoalan agama merupakan hal yang sensitif, karena menyangkut hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Agama menyangkut kesadaran religius, yang tersembunyi dalam setiap individu. Jadi keimanan beragama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipaksakan. Setiap usaha memaksa, dengan cara mewajibkan atau melarang agama tertentu merupakan pelanggaran serius terhadap hak pribadi (Siagian, 1987). Oleh karena itu penghinaan atau penghujatan terhadap suatu agama tertentu menjadi persoalan serius yang sulit untuk diatasi, apalagi hanya memandang dari perspektif hokum positif.

Berdasarkan sejarah masa lalu sebenarnya, menurut Parsen (dalam Koentjaraningrat, 1982) Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama di dunia. Keaneka-ragaman agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak menimbulkan permasalahan atau pertentangan, namun justru menunjukkan adanya saling toleransi, kerjasama dan saling menghormati.

Lebih lanjut Parsen (Adisubroto, 1993/1994) menjelaskan pula bahwa hanya Indonesia yang mempunyai rasa keagamaan monoteisme yang demikian menyatu secara alamiah dengan masyarakatnya. Hal itu tercermin dalam cara hidup di desa-desa yang tidak lepas dari dasar-dasar religius, seperti misalnya adanya berbagai bentuk selamatan. Ada beberapa tempat yang masih menghormati hewan yang disakralkan oleh agama tertentu.

Jadi pada dasarnya umat beragama yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai dasar untuk mampu hidup rukun dan berdampingan bersama. Namun demikian searah dengan perubahan yang terjadi di masyarakat menyebabkan perubahan pula dalam hubungan kehidupan keagamaan, antara lain ada banyak kasus kerusuhan besar yang disulut oleh faktor perbedaan agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang mendasar dan bermacam-macam. Perubahan tersebut searah dengan semakin majunya masyarakat menuju era modernisasi dan globalisasi dalam segenap bidang kehidupan.

Modernisasi dalam masyarakat adalah suatu proses transformasi; suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya (Schoorl, 1991). Perubahan-perubahan tersebut antara lain meliputi :

1. Bidang politik; dari sistem-sistem yang menganut kekuasaan kepala adat / desa yang sederhana digantikan dengan sistem-sistem pemilihan umum, perwakilan, dan birokrasi. Selain itu persoalan keagamaan "dilarikan" menjadi persoalan politik, karena dukungan politik sangat diperlukan untuk membesarkan suatu kelompok / sekte agama tertentu. Akhirnya persoalan agama menjadi kendaraan politik bagi pemimpinnya.
2. Bidang teknologi; masyarakat yang sedang berkembang mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional ke arah penggunaan teknologi hasil pengetahuan ilmiah. Perangkat tehnologi komunikasi yang semakin canggih akan mengurangi sensitivitas dan keterdekatan secara social antara satu individu dengan individu lainnya. Akhirnya akan mempermudah pada keberpihakan pada kepentingan individual daripada menuntaskan kepentingan bersama.
3. Bidang pendidikan ; masyarakat sekarang berusaha keras meningkatkan kemampuan baca tulis dan mengurangi buta huruf untuk menambah pengetahuan dalam berbagai hal/bidang kegiatan. Namun demikian berpengaruh pula dalam penafsiran akan Firman Allah yang mulai menggunakan rasio (logika). Hal inipun menjadi bibit persoalan internal kelompok beragama maupun antara umat berlainan agama. Padahal kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah teks selalu banyak mengalami kelemahan (Jamuin, 1999), apalagi menyalahi ketentuan Agama (Mudzakarah dalam Almuslimun, 1998).
4. Bidang sosial ; adanya mobilitas geografis dan sosial cenderung merenggangkan sistem-sistem hierarki yang sudah ada. Anggota masyarakat yang sebelumnya mempunyai sikap kebersamaan dan keterikatan yang tinggi pada desa/adat istiadatnya serta kepatuhan pada tetua adat atau sesepuh, sekarang sikap tersebut menjadi semakin berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Selain penyelesaian persoalan yang bisa dilakukan secara adat/ budaya berubah menjadi penyelesaian secara hukum. Padahal sebagaimana diketahui penyelesaian hukum tidak akan efektif karena akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan berbelit-belit.

Masih banyak lagi perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya pengaruh sosial dari kekuatan sosial yang bermacam-macam bentuknya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi dan globalisasi ini lambat laun tentu akan terjadi pada setiap bangsa / masyarakat di dunia ini. Pada penelitian Chen (dalam Brouwer,1989) tentang proses modernisasi di Singapura menemukan bahwa banyak terjadi perubahan-perubahan akibat adanya modernisasi di segala bidang kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan relasi paternalistis dalam perusahaan, relasi antara anak dan orang tua yang semakin mengendor, gotong royong dan hidup bersama menjadi berkurang serta relasi persaudaraan yang longgar.

Kemajuan teknologi dari negara-negara Barat mau tidak mau akan terus merambah deras ke negara-negara lain di dunia ini, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Masyarakat dunia akan menganggap bahwa modernisasi sangat diperlukan untuk memajukan kehidupan. Hal ini karena modernisasi di segala bidang kehidupan dianggap mempunyai pengaruh positif. Masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pekerjaannya (Matulessy, 1992). Namun demikian seperti dua sisi mata uang, dampak negatif dari adanya perubahan sosial menyertai hubungan sosial atau keberagamaan.

Faktor Penyebab Pertentangan Antar Umat Beragama

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan antar umat beragama, antara lain:

1. Adanya prasangka sosial
Prasangka merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya. Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen (merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.

2.Fanatisme yang berlebihan dan keliru dalam kehidupan beragama
Pertentangan antar umat bergama bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-agungkan agamanya, namun menganggap rendah agama lain. Akhirnya segala hal yang menyangkut agama lain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati. Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar umat beragama. Hal ini oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah kehidupan yang lain.

3.Kurangnya komunikasi
Suatu pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam mengkomunikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan diantara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan beragama, suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh agama tertentu dipersepsikan keliru oleh agama yang lain. Hal tersebut karena kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara umat beragama agar tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang dikomunikasikan.

4. Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan social, politik, ekonomi
Kepentingan agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya. Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertikaian dalam kehidupan beragama. Memang dalam sejarah banyak sekali variasi dalam hubungan antara agama dengan kekuasaan dan negara, sebagaimana contoh dari sejarah umat Kristen (Siagian, 1987) sebagai berikut :

a. Hubungan pertentangan, agama menantang penguasa dan negara yang dianggap sebagai golongan yang jahat. Dalam hal ini agama tidak mau tahu tentang persoalan politik, tujuannya hanyalah mengatur keselamatan penganutnya.
b. Hubungan kebersamaan, agama dianggap identik dengan pejabat tinggi/ politik atau penguasa politik
c. Hubungan dominasi, antara tokoh agama dan politik saling menguasai secara politik.
d. Hubungan pemisahan, agama lepas sama sekali dari negara dan tidak mau campur tangan dalam masalah pemerintahan.
e. Hubungan dialogis, agama berusaha mempengaruhi negara tanpa menguasainya dan negara mengharapkan dukungan dari agama. Biasanya di Indonesia terjadi situasi seperti ini ada kesan "malu-malu" dari tokoh agama untuk masuk ke panggung politik, begitu juga para penguasa pemerintahan sulit bergerak bila tidak mendapatkan dukungan dari tokoh agama, namun tidak ingin mereka terlalu berkuasa di pemerintahan.

5. Kurangnya wawasan akan ilmu keagamaan
Sebagaimana diketahui cara pemahaman masyarakat akan kehidupan beragama lebih diarahkan pada kegairahan beragama, bukan pada perluasan cakrawala keagamaan. Akhirnya masyarakat lebih mementingkan kharismatisme dan pengkultusan tokoh agama, bukan pada cara-cara menggunakan analisis atau pemahaman hakekat keagamaannya (Isngadi dalam Surya, 11 April 1997). Hal inilah yang kadang-kadang bisa menimbulkan deindividuasi pengikut keagamaan untuk selalu mengikuti kehendak pemimpin keagamaan yang belum tentu selalu benar.

6.Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan agama. Agama bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.

Menggalang Toleransi sebagai Solusi Efektif dalam Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama
Permasalahan-permasalahan konflik antar umat beragama seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih komprehensif. Beberapa solusi tersebut antara lain :

1. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar umat beragama.
2. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan.
Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit didapatkan serta dukungan dari tokoh agama dan anggota kelompok agamanya membuat polisi sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.
3. Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan.
Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara umat beragama, serta refleksi & renungan keagamaan untuk mensikapi perbedaan visi keagamaan.
4. Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik
Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan agama merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar pemeluk agama tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpin agamanya (politik), ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan agamanya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin keagamaan diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.

Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok keagamaan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar agama. Pembinaan pada pemeluk agama diarahkan pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas. Sekali lagi orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok ukur dalam menilai orang lain pun akan meyulitkan seseorang untuk bertoleransi dengan orang atau kelompok lain.

Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”. Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs, perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama.

Tanpa adanya toleransi antar kelompok agama, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai.

Read More..

RESOLUSI KONFLIK DALAM PEMILU 2004




Andik Matulessy


Analisis Psikologi Politik
Diberikan dalam Psycho Expo Fak. Psikologi Universitas Indonesia
Jakarta,3 Maret 2004



Pendahuluan

Pemilu 2004 ini merupakan ajang pesta demokrasi kedua setelah era reformasi 1998. Pada Pemilu inilah diharapkan akan menjadi proses belajar dan pendewasaan politik . Selain itu sejak Pemilu 1999, nampak sekali civilized democracy dilakukan, tidak seperti sebelumnya yang mengandalkan pada authoritarian democracy. Pada saat awal memang proses politik nampak sekali demokratis, Jurdil dan transparans, sebagai akibat dari tuntutan sebagian besar masyrakat yang tidak menginginkan adanya single majority dari suatu parpol tertentu. Ditambah lagi banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang dibentuk oleh kalangan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat asing diperbolehkan untuk memantau pesta demokrasi tahun 1999 tsb. Namun demikian syarat peserta partai pemilu yang sangat mudah, membuat banyak parpol yang sekedar “jual obat”, laris tidak laris tutup pindah ke tempat lain. Selain itu sentimen akan partai “orba” membuat partai yang sebelumnya siap menang dan ternyata menang telak, tidak siap memunculkan kader partai yang berkualitas, sehingga banyak anggota legislative yang “plin plan”, aji mumpung dan sama sekali tidak memiliki sensitivitas akan kehidupan masyarakat.

Lebih jauh lagi pemilu 1999, muncul ekses akibat “no party will win a majority in elections”, yakni kabinet pelangi yang rentan akan instabilitas, money politic dan politik dagang sapi. Maka jatuhlah Gus Dur yang hanya 8 bulan berkuasa pada saat itu, dan berganti dengan Megawati yang sebelumnya sangat bergantung pada Gus Dur. Jadi pendewasaan politik ternyata belum muncul walaupun reformasi muncul. Pada saat itulah bibit-bibit konflik yang dulunya terkutub antara masyarakat bawah dengan penguasa tunggal Orba, berganti dengan konflik antara grass root masing-masing parpol. Dan saya yakin dendam itu akan berlanjut pada pemilu pada tahun 2004 ini.

Apa yang Terjadi pada Pemilu 2004

Pada proses pemilu tahun 2004 ini, memang nampak terjadi perubahan besar, utamanya terkait dengan Undang Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilu serta Undang-undang nomor 31 tahun 2002. Pada kedua Undang undang tsb, mengatur sangat ketat parpol mana yang bias menjadi peserta pemilu. Walaupun dalam proses pembuatan terjadi tarik menarik serta bargaining di antara para anggota dewan legislative yang mengesahkan undang-undang tsb, yang tentunya diharapkan lebih mengedepankan kepentingan kelompok tsb. Sebagai contoh, dalam undang-undang yang mengatur pula tentang persyaratan presiden dan wakil presiden, banyak sekali tawar menawar yang menunjukkan keinginan untuk meng-gol-kan kepentingan kelompoknya bukan kepentingan masyarakat secara luas.

Hal yang menggembirakan adalah verifikasi untuk menentukan parpol yang melewati tahap yang melelahkan bagi parpol yang tidak masuk dalam electoral treshold dalam pemilu 1999 (6 parpol, PDIP, Golkar, PKB, PAN, PBB,PPP ), hasilnya dari 240 parpol yang mendaftar, hanya 18 parpol yang memenuhi syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu. Ini sesuatu yang baru di dunia demokrasi Indonesia, sebagai akibat munculnya KPU yang benar-benar diseleksi ketat serta independen. Tidak seperti pemilu 1999 dimana PPU berasal dari unsur parpol dan pemerintah. Hal lain adalah persyaratan anggota caleg yang sangat kompleks diharapkan akan memunculkan tokoh-tokoh yang memang berkualitas. Selain itu mulai diberlakukan system pemilihan yang tidak hanya mengandalkan pada tanda gambar tetapi juga nama atau foto calon legislative, ibarat memilih kucing di dalam karung, maka pada pemilu kali ini masyarakat memilih kucing dan karungnya. Ditambah lagi kuota perempuan 30% pada setiap caleg yang harus dimunculkan oleh parpol, akan memberi ruangan serta suasana lebih nyaman dengan kehadiran kelompok dengan jumlah penduduk terbesar tetapi kurang mendapatkan tempat dalam penempatan di legislative. Setiap parpol yang tidak menempatkan perempuanpada kuota tsb, akan diumumkandi media massa.

Pemilu 2004 dan Konflik

Konsep yang bagus dalam pelaksanaan pemilu 2004 tidak kemudian menghilangkan begitu saja kemungkinan terjadinya konflik, utamanya pada level grass root. Beberapa hal yang bias menimbulkan konflik antara lain :

1. Banyaknya parpol yang mendulang suara pada satu basis massa yang sama, seperti PKB, PPP, PBR, dsb. Pada kondisi ini mereka dihadapkan pada persaingan internal, karena organisasi keagamaan seperti NU, telah menunjukkan kenetralannya pada level elit politik, namun pada level di bawahnya tidak banyak diikuti oleh para kyai politik yang memiliki mass yang tidak sedikit. Akhirnya perebutan massa tersebut mengakibatkan perseteruan yang hangat sampai terjadi pembunuhan, seperti kasus di Lumajang Jawa Timur.
2. Persoalan internal parpol terutama sekali dalam penentuan nomor urut, banyak caleg bermasalah, penentuan kontribusi sebagai caleg, tuntutan lebih organisasi pada caleg, munculnya kepengurusan ganda, dsb akan menyulut konflik antar anggota parpol.
3. Munculnya kelompok orba jilid kedua. Munculnya kelompok ini secara terang-terang akan menimbulkan “panas” pada kelompok yang menyebut dirinya reformis. Tanda-tanda ini mulai muncul engan banyaknya hujatan pada parpol yang mencoba menarik simpati dari kelompok pro status-quo. Kelompok reformis ini akan bertambah besar apabila kaum mahasiswa yang lagi “puasa politik” nantinya akan turun ke jalan.
4. Sinyalemen dari kelompok militer tentang akan adanya sabotase yang ingin menggagalkan pemilu patut dicermati, karena tentunya mereka menggali informasi dari berbagai kalangan dan lokasi, sehingga data merekapun bias saja sangat kuat, walaupun ada yang mengatakan “tendensius” kelompok militer untuk masuk pada perpolitikan nasional. Atau yang paling menakutkan lagiada kelompok yang memanfaatkan sinyalemen tsb untuk “mempraktekannya agar nampak benar.
5. Parpol yang gagal dalam berbagai verifikasipun memiliki kemungkinan untuk masuk dalam peta konflik, karena mereka sudah mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu yang sangat besar. Jadi terlaksananya pemilu akan semakin membuat “sakit hati” dari barisan parpol tsb. Memang indikasi ini kurang begitu terbukti, tapi tentunya dalam sejarah manapun dendam politik sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
6. Ketidaksetujuan akan pemilu bisa saja dilakukan dengan cara “topo bisu”, yakni menjadi golput,kelompok yang sangat ditakuti oleh pelaksana pemilu karena akan menjauhkan hasil pemilu yang legitimate secara de facto. Sama dengan pemilihan kepala desa yang antara calon dengan “bumbung kosong”, lidinya banyak masuk di bumbung kosong itu. Oleh karena itu banyak pamflet dan iklan di TV yang menginginkan banyaknya peserta pemilu yang aktif memilih, tidak hanya sebagai oposan pasif.
7. Fanatisme akan kelompok juga akan menumbuhkan kemungkinan besar munculnya konflik di antara para pendukung / massa parpol. Fanatisme yang dibangun dari etnis, ideology, bahkan agama akan bias membuat terjadinya deindividuasi, penghilangan identitas diri dari individual mind beralih menjadi collective mind, yang rentan akan tindakan destruktif, emotional, suggestible, dan iritable. Fanatisme akan semakin memuncak saat muncul pemimpin yang sangat provokatif dan menggunakan konflik sebagai cara untuk menggalang massa.
8. Kampanye jalanan juga akan menumbuhkan konflik yang berkepanjangan, karena pada saat itu kemungkinan munculnya pertemuan langsung dengan anggota parpol lain atau atributnya akan memungkinkan munculnya konflik langsung yang destruktif antar kelompok tsb. Karena pada saat massa berkumpul dalam sebuah space yang sangat luas tidak memungkinkan adanya penghindaran mereka untuk tidak berlaku negatif.
9. Fenomena money politics bisa juga meningkatkan eskalasi konflik, utamanya pada parpol yg “kering”, yang mengandalkan pada loyalitas anggota akan merasa “tersinggung” dengan adanya tokoh dari parpol lain yang lebih “kaya” mampu membeli suara dari pendukung/ massa tsb.
10. Floating mass yang terbentuk akibat janji-janji muluk partai di era reformasi yang tidak bisa lagi dipercaya, akan memunculkan antipati terhadap parpol manapun yang mencoba menjual ide dalam kampanye pemilu.
11. Kurang optimalnya kerja KPU utamanya dalam menyiapkan perangkat sarana dan prasarana pemilu seperti kotak suara, kertas suara, bilik suara, petugas PPS, TPS, dsb merupakan hal yang sensitive sehingga bisa menggagalkan pelaksanaan pemilu 2004.

Resolusi Konflik Antar Parpol

Konflik antar parpol tidaklah sama dengan konflik antar individu, pada penanganan konflik antar parpol tetunya lebih banyak mengedepankan pada penyelesaian politis daripada penyelesaian secara individual. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi dasar resolusi konflik tsb, antara lain yang dikemukakan oleh David Myers dalam bukunya exploring social psychology, yakni :

1. Regulation : perlu ada sebuah tatanan cara bermain yang adil bagi kelompok parpol tersebut. Selain itu ketegasan terhadap pelanggaran oleh parpol manapun akan mengurangi terjadinya konflik. Oleh karena itu perangkat hukum yang digunakan harus independen dan tidak berorientasi pada parpol yang sekarang berkuasa. Pada saat sebuah pelanggaran dibiarkan atau tidak ada penyelesaian yang tegas (probability of resolution discontent), maka konflik akan semakin besar.
2. Small is beautiful: Dalam kelompok yang kecil masing-masing anggota kelompok lebih responsible, effective dan identified with group success. Selain itu akan semakin meningkatkan pula kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu pemampatan jumlah peserta pemilu diharpkan juga tidak menimbulkan “rasa lebih” dari para anggotanya, sehingga membuat mereka merasa memiliki peluang yang sama, walaupun secara realitas tidaklah demikian.
3. Communication : Komunikasi merupakan kesempatan untuk saling bertukar informasi dan perasaan. Jadi hilangnya atau terhambatanya komunikasi akan menumbuhkan mistrust di antara kelompok tsb. Padahal rasa percaya satu dengan yang lain menjadi sebuah dasar munculnya interaksi yang berkelanjutan. Selain itu komunikasi akan memudahkan terjadinya agreement dari masing-masing pihak yang saling berkonflik. Komunikasi dalam pemilu sebenarnya sudah banyak difasilitasi oleh Muspida dengan pembentukan Forum Komunikasi Antar Parpol, namun demikian ada beberapa parpol yang merasa bahwa pengaruh parpol besar masih sangat dominan mewarnai keputusan Forkom tsb.
4. Changing the Payoffs : Pembalikan manfaat akan sebuah kejadian akan sangat penting untuk mengurangi konflik, utamanya memberikan rewards adanya kerjasama dan punishment dari adanya eksploitasi yang mengarah kepada konflik. Banyak sekali persoalan yang terjadi di parpol yang kemudian mendapatkan “angin” untuk tidak diselesaikan secara tuntas, utamanya pada parpol besar yang masih mengandalkan kekuatan bargaining politiknya.
5. Appeals to Altruistic Norms : Perlunya para pemimpin parpol melihat sebuah perilaku dari anggotanya yang fanatis pada parpol disikapi dengan mengarahkan pada keinginan untuk bekerjasama dengan parpol, bukan malah memprovokasi untuk berkonflik. Karena pemimpin parpol sangat menentukan massa di level grass root ini akan diarahkan kemana. Adanya tanggung jawab social bahwa pemilu ini akan menjadikan sarana menuju bangsa yang lebih baik akan menjadi sebuah ungkapan sejuk untuk tidak melakukan tindakan negatif.

Pengatasan konflik tersebut tidak akan efektif tanpa membuat perubahan akan system itu sendiri. Perubahan system bisa dilakukan oleh anggota legislative dan eksekutif yang kita pilih nantinya. Pilihan salah akan mengarahkan pada kondisi system yang “mandek” dan tidak akan mendekatkan Indonesia Baru yang dicita-citakan dalam reformasi.

Read More..

Massa, Kerusuhan Dan Konflik Sosial : Suatu Telaah Psikologi Sosial




Andik Matulessy

Diberikan dalam rangka Acara Pelatihan Kader Bangsa Wilayah Indonesia Timur,
Batu, Malang, 6 Agustus 2005

Saya mimpi tentang sebuah dunia, Dimana ulama-buruh dan pemuda, Bangkit dan berkata-Stop semua kemunafikan, Stop semua pembunuhan atas nama apapun

…….Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, Agama apapun, ras apapun, dan bangsa apapun, Dan melupakan perang dan kebencian, Dan Hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Tuhan- Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah akan datang (Soe Hok Gie)

Fenomena Konflik yang Berujung Kerusuhan

Akhir-akhir ini semakin banyak konflik atau kerusuhan terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya akan menjadi permasalahan yang mengganggu kelancaran pembangunan yang membutuhkan persatuan dan kesatuan untuk mencapai suatu stabilitas nasional yang mantap. Permasalahan yang bersumber dari sentimen SARA menjadi pertanyaan bagi semua kalangan, karena dalam sejarah selama ini semua unsur etnis dapat hidup berdampingan secara damai.

Pada perkembangannya persoalan SARA menjadi dasar terjadinya konflik yang serius dan berkepanjangan. Ada beberapa kasus besar dalam periode 10 tahun ini, misalnya kasus pengrusakan gereja di Situbondo, kerusuhan di Rengasdengklok yang menyebabkan kerusakan vihara dan gereja, kerusuhan di Ketapang-Jakarta, pembakaran gereja di Kupang, pengrusakan tempat ibadah agama di Pasuruan, kerusuhan politis yang diarahkan pada kerusuhan antar umat beragama yang terjadi di Ambon & Maluku Utara, serta kerusuhan Poso yang baru-baru saja menyeruak dengan adanya penembakan terhadap seorang pemimpin agama di tempat ibadahnya.

Fenomena tersebut menunjukkan suburnya bibit-bibit permusuhan antar kelompok. Sementara itu persoalan konflik antar kelompok ini sulit untuk diselesaikan atau dihentikan karena begitu lamanya tidak mendapatkan solusi sehingga menimbulkan dendam berkepanjangan bagi pengikutnya. Hal ini nampak dari kerusuhan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso, yang berlarut-larut dan diturunkan dari generasi satu ke generasi yang lain, sehingga tinggal menunggu bom waktu pemicu kerusuhan.

Padahal sebenarnya Ralph K White (dalam Ancok, 2004) menyatakan nobody wanted war, tidak seorangpun yang menyukai peperangan (konflik). Hal tersebut berarti manusia sebenarnya juga menginginkan keterdekatan dan kerjasama dengan orang lain, berinteraksi secara positif dan menjalin hubungan yang lebih dalam antara satu dengan yang lain. Namun demikian realitasnya banyak keinginan untuk berkonflik dengan orang lain. Selanjutnya Ralph K White menekankan bahwa ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya konflik. Oleh karena itu semua pihak perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas.

Sementara itu ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya permasalahan/ pertentangan atau konflik yang berujung pada kerusuhan, antara lain:

1. Adanya prasangka sosial
Prasangka merupakan fenomena yang terjadi antar kelompok yang cenderung berkonotasi negatif (Kuppuswamy, 1973). Prasangka bisa muncul karena adanya konflik atau kompetisi antar kelompok. Prasangka tersebut terkait erat dengan stereotipe negatif pada kelompok lain atau stigma yang akan melekat dan diturunkan terus menerus dalam kehidupan selanjutnya, akhirnya prasangka tersebut terlihat sebagai dosa turun menurun yang akan selalu ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Prasangka menjadi mengkristal karena tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas. Pada akhirnya prasangka yang tak kunjung selesai akan menciptakan keinginan untuk melakukan diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akan muncul konsep in-group dan out-group, yang menganggap kelompok dan orang-orang yang se ide dan se ideology sebagai kelompok yang benar, dan sebaliknya orang lain yang tidak se ide sebagai ancaman bagi dirinya. Sebagaimana yang terungkap dalam investigasi dari Gatra (Agustus, 2001) tentang banyak bermunculan panglima cilik dari komunitas Islam (putih) maupun Kristen (merah) di dalam kerusuhan Ambon, akibat dari konflik yang terus menerus dan semakin meneguhkan anggapan atau persepsi yang negatif di antara mereka.

2. Fanatisme yang berlebihan dan keliru
Pertentangan antar kelompok bisa muncul bila terjadi adanya pandangan yang mengagung-agungkan kelompoknya, namun menganggap rendah kelompok lain. Akhirnya segala hal yang menyangkut kelompoklain, dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh yang tidak harus dihormati. Akhirnya pandangan negatif tersebut akan menjadi bibit permusuhan antar kelompok. Sebagaimana diungkapkan oleh Jamuin (1999) diistilahkan sebagai klaim kebenaran yang didasarkan atas keyakinan membabi-buta terhadap hasil interpretasi atas teks ajaran agama. Hal tersebut karena klaim kebenaran akan mengarah pada munculnya konflik antar pemeluk agama yang bisa meluas pada konflik pada wilayah kehidupan yang lain.

3. Kurangnya komunikasi
Suatu pertentangan atau permusuhan kadangkala disebabkan oleh ketidaklancaran dalam mengko-munikasikan pesan. Pesan ditangkap oleh orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diinginkan oleh pemberi pesan. Akhirnya akan terjadi kesalahan persepsi akan maksud pesan tersebut, yang berlanjut dengan ketegangan di antara pemberi dan penerima pesan. Begitu pula dalam kehidupan bersama, suatu ketegangan akan terjadi bila suatu hal yang dikomunikasikan oleh kelompok tertentu dipersepsikan keliru oleh kelompok yang lain. Hal tersebut karena kelompok-kelompok yang jarang atau tidak pernah berkomunikasi akan menggunakan info yang sedikit tersebut untuk mengambil keputusan akan kemungkinan perilaku orang lain. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi antara kelompok agar tercapai kesamaan persepsi atau sensitivitas akan maksud dan tujuan pesan yang dikomunikasikan.

4. Pencampur adukan kepentingan agama dengan kepentingan sosial, politik, ekonomi
Kepentingan agama memang tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain yang melingkupinya. Merunut sejarah masa lalu, agama tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan lain. Akhirnya kadangkala umat beragama terpecah menjadi berbagai kepentingan yang mempunyai misi dan visi berbeda. Akhirnya apabila muncul ketegangan di antara berbagai kepentingan tidak dapat melepaskan diri dari atribut kepentingan politik atau ekonomi yang disandangnya. Apalagi memiliki kekuasaan politik berarti mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertikaian dalam kehidupan beragama.

5. Terakumulasinya permasalahan sosial ekonomi, seperti kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan tidak stabilnya harga kebutuhan pokok, yang tidak terselesaikan dapat pula menjadi pemicu dasar kerusuhan, apalagi bila dikaitkan dengan persoalan SARA. Hal tsb bisa menjadi precipitating factor / event yang ampuh dalam memunculkan kerusuhan. Apalagi ada provokator yang mampu me"manage" isu sehingga mudah membakar massa yang sudah frustasi dengan seabreg ketidakpuasan.

Teori Psikologi Massa

Studi tentang massa atau perilaku kolektif banyak bersangkut paut dengan disiplin sosiologi politik dan psikologi sosial, baik dari ulasan makro maupun mikro (Cook et.al, 1995). Kaitan erat fenomena perilaku kolektif dengan psikologi sosial nampak pertama kali dari publikasi Charles Makay yang berjudul Extraordinary Popular Delusions & The Madness of Crowds tahun 1841; kemudian karya Gustav Le Bon yang berjudul The Crowd, publikasi le Bon ini membawa pengaruh besar meningkatkan perkembangan penelitian tentang perilaku kolektif, seperti Robert Park seorang Amerika yang studi di Jerman yang menulis disertasi tentang perilaku individu dalam kerumunan tahun 1904; selanjutnya Park dan Ernest Burgess mengulas contagion theory dalam buku Introduction to the Science of Sociology tahun 1921; Ralph Turner dan dan Lewis Killian yang memperkenalkan teori Emergent Norm Perspective dalam bukunya Collective Behavior tahun 1957; Neil Smelser dengan teori The Value-Added dalam buku Theory of Collective Behavior tahun 1962; Clarck McPhail dengan teori SBI (symbolic interactionist/ behaviorist) atau Sociocybernetic yang menekankan bahwa perilaku kolektif adalah bentuk dari perilaku kelompok; Floyd Allport dengan teori Konvergen mengulas perilaku kolektif dalam buku Social Psychology tahun 1924; Neil Miller dan John Dollard dalam buku Social Learning and Imitation tahun 1941; pendekatan individual terhadap perilaku kolektif dimunculkan tahun 1988 oleh Michael Hogg dan Dominic Abrams dalam bukunya Social Identification : A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes; William Kornhauser dengan teori Mass Society dalam buku The Politics of Mass Society tahun 1959 menyatakan bahwa gerakan sosial (social movement) sifatnya personal daripada politis, karena terkait dengan keinginan terbebas dari masalah perasaan terkekang/ terisolasi; Stoufer dengan teori deprivasi relatif tahun 1949 yang kemudian dikembangkan oleh Denton Morrison tahun 1971 dalam buku Some Notes toward Theory on Relative Deprivation, Social Movements and Social Change; Meyer Zald dan Roberta Ash dalam bukunya Social Movement Organizations memunculkan teori Resource Mobilization; serta Douglas Mc Adam dengan teori Political Process dalam buku terbitan tahun 1982 dengan judul Political Process and the Development of Black Insurgency 1930-1970.

Di samping itu, menurut Cook et.al. (1995) banyak publikasi dari psikolog yang mengulas perilaku kolektif dan gerakan sosial dari sudut psikologi sosial, antara lain: Freud dengan bukunya Group Psychology & the Analysis of the Ego, yang terbit tahun 1921;Dollartd et.al. dengan bukunya Frustration and Aggression yang terbit tahun 1939; Adorno et.al. dengan buku The Authoritarian Personality yang terbit tahun 1950.

Lebih jauh lagi DiRenzo (1990) dalam bukunya Human Social Behavior mengungkapkan berbagai jenis dari perilaku kolektif, antara lain : crowds, panic behavior, mass hysteria, behavior in disasters, rumor, publics, public opinion, mass behavior, dan social movement. Sedangkan Locher (2002) dalam bukunya Collective Behavior membedakan perilaku kolektif sebagai berikut : mass suicides, mob violence, riots, crazes, panics, fads, rumors, physical hysterias, millenarian groups, sightings, miracles dan social movements. Menurut John Lofland (2003) perilaku kolektif mencakup 4 jenis yang berbeda, yakni kerumunan (crowd), massa (mass), publik, dan gerakan sosial (social movement).

Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yakni ; orientasi tujuan pada perubahan(change-oriented goals), ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization), tingkatan kontinuitas aktivitas yang sifatnya temporal (some degree of temporal continuity); serta aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional) (Cook et.al., 1995). Dari berbagai konsep di atas nampak sekali bahwa gerakan sosial mencakup pula adanya suatu organisasi tertentu yang lebih kompleks dan bertahan lama dibanding perilaku kolektif lain misalnya crowd.

Cara-cara Mengatasi Konflik

Sherif (Sarwono, 1998) mengungkapkan bahwa pemecahan konflik bisa dilakukan dengan beberapa cara di antaranya adanya pemunculan tujuan bersama, artinya tujuan individu individu bisa disubstitusikan pada tujuan bersama yang lebih besar untuk kepentingan bersama. Hal tersebut berarti kemampuan semua warga negara dari berbagai lini untuk saling menghargai pandangan, perasaan dan respon orang lain akan menumbuhkan kebersamaan. Kuncinya adalah pemerintah harus mengedepankan kepentingan bersama dengan memperhitungkan dampak yang mungkin terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara. Tujuan bersama atau Super ordinate goal dapat mengurangi konflik antar kelompok (Ancok, 2004). Super ordinate goals yang kita raih saat ini adalah bagaimana menciptakan Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.
Lebih jauh lagi permasalahan konflik antar kelompok seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih komprehensif. Beberapa solusi tersebut antara lain :

1. Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana diketahui ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial (Matulessy, 1997). Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar kelompok.
2. Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan.
Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi dalam kegiatan massa sulit didapatkan serta dukungan dari tokoh dan anggota kelompoknya membuat aparat sulit untuk memberikan punishment kepada mereka.
3. Meningkatkan komunikasi di antara kelompok untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan.
Komunikasi ini dalam bentuk dialog interaktif secara kontinu dengan tujuan untuk membangun kesadaran sebagai bagian dari masyarakat plural; kegiatan bersama untuk membangun rasa percaya di antara kelompok, serta refleksi & renungan kebersamaan untuk mensikapi perbedaan visi kehidupan.
4. Kesadaran dari para pemuka kelompok untuk tidak menjadikan konflik sebagai alat politik
Hal ini memang tidak mudah, karena politik berarti kekuasaan, dan fanatisme kelompok merupakan kendaraan politik yang paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal sebagian besar masyarakat tergolong pada masyarakat level bawah, yang mengedepankan emosi pada para pemimpinnya, ditambah dengan kekurangmampuan mengulas konflik dengan lebih bijaksana dalam tataran wacana, sehingga mudah sekali digiring pada aksi brutal untuk mempertahankan kelompoknya (pemimpin). Oleh karena itu pemimpin kelompok diharapkan mengurangi perannya dalam politik atau tidak memunculkan pendapat yang sudah dirasuki oleh kepentingan politik. Selain itu menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme yang keliru.

Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar kelompok. Pembinaan pada anggota kelompok diarahkan pada peningkatan kualitas akan nilai-nilai kebenaran dan menumbuhkan sikap toleransi adalah sesuatu yang paling efektif daripada mengkonsentrasikan pada penambahan jumlah pengikutnya. Namun demikian pada kehidupan social yang semakin penuh dengan kompetisi, maka penghayatan akan toleransi masih merupakan wacana yang sulit untuk diimplementasikan pada tingkatan realitas.

Sekali lagi orang masih melakukan proses heuristics atau mental short-cut dalam mempersepsikan segala hal yang terkait dengan orang lain. Ada prototype di dalam struktur kognitif seseorang yang dibangun dari sebuah proses interaksi dan internalisasi dengan lingkungan sosialnya, dalam arti kultur, agama, etnis atau lingkungan keluarga. Prototype tsb tidak selalu benar, banyak distorsi kognitif yang menyulitkan munculnya toleransi pada orang lain. Selain itu egoisme pribadi yang menetapkan diri pribadi atau kelompoknya menjadi tolok ukur dalam menilai orang lain pun akan menyulitkan seseorang untuk bertoleransi dengan orang atau kelompok lain.

Di dalam kehidupan bermasyarakat ada kecenderungan orang masih berfikir “senang melihat orang lain sakit, atau sakit hati bila melihat orang lain senang”. Padahal toleransi harus didasari oleh kebutuhan kita untuk share/ saling berbagi persoalan dengan yang lain tanpa saling menghalangi; mampu berempati atau mampu merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain, kemampuan empati seperti ini memang tidak mudah untuk dilakukan selama tidak ada keterbukaan hati dan pikiran kita akan keberadaan orang lain; simpati pada apa yang dilakukan orang lain, selalu melihat bahwa apa yang dilakukan orang lainpun patut kita hargai; menghormati pendapat, pandangan, keyakinan, customs, perilaku, agama, suku dan segala atribut orang atau kelompok lain, kondisi seperti ini bisa tercapai apabila kita terbiasa untuk berkomunikasi dengan berbagai typical orang yang berbeda, fanatisme menggumpal karena jarang ada interaksi dan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; tidak selalu menilai orang lain berdasarkan subjektifitas dirinya, bahaya menggunakan subjetivitas adalah semakin menyulitkan kita untuk menerima kehadiran dan perubahan yang terjadi pada orang lain, karena setiap orang mau tidak mau akan selalu berubah, sehingga pandangan kitapun harus berubah, selain itu objektivitas muncul apabila kita mampu berinteraksi; mengedepankan consensus daripada konflik dengan individu lain, selama ini penyelesaian dengan berkonflik dianggap lebih sesuai dalam mencapai tujuan diri dan kelompok, padahal sekali konflik muncul akan semakin sulit kita mengendalikan untuk tidak berkonflik atau akan muncul jenis konlik lain yang semakin parah; menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang segala persoalan yang terjadi pada orang lain, memahami orang lain tidaklah mudah, karena harus didasari oleh kebersihan nurani untuk melihat segala persoalan dengan lebih hati-hati dan jernih; tidak ada keinginan untuk mengalahkan orang lain, dalam arti tidak selalu melihat kelompok lain sebagai musuh namun lebih menekankan pada kemenangan semua pihak, karena semua pihak adalah mitra dalam kehidupan sehari-hari; serta menetapkan bahwa kerjasama adalah modal social yang paling utama dalam membangun interaksi bersama. Tanpa adanya toleransi antar kelompok, maka jangan harap segala capaian atau keinginan akan perubahan pada masa depan negara ini akan tercapai. MERDEKA !!!!

Sumber kajian :

1. Matulessy, Andik. 2003. Gerakan Mahasiswa. Penerbit Wineka Media. Malang.
2. Matulessy, Andik. 2003. Psikologi Pencerahan. Penerbit Wineka Media. Malang.
3. Matulessy, Andik. 2005. Psikologi Politik. Penerbit Srikandi. Surabaya.
4. Matulessy, Andik. 2005. Mahasiswa dan Gerakan Sosial. Penerbit Srikandi. Surabaya

Read More..

Meraih Masa Depan di Perguruan Tinggi (Suatu Kajian Psikologis)



Andik Matulessy


Diberikan dalam Diskusi Siswa-Siswi SMUTAG Surabaya,7 April 2006


Pendahuluan

Alkisah, John F. Kennedy setelah dilantik menjadi Presiden termuda di USA ditanya oleh wartawan tentang hal yang paling berkesan dalam kehidupannya. Jawaban yang diberikan sangat mencengangkan bagi semua orang, dia menyatakan saat menjadi mahasiswalah yang merupakan saat-saat menyenangkan bagi dirinya. Orang banyak berfikir bahwa saat dilantik menjadi Presiden termudalah saat yang paling menyenangkan baginya. Hal ini menjadi tanda tanya yang besar kenapa begitu menyenangkan menjadi seorang mahasiswa. Selain sebutan “maha” yang dilabelkan kepada mereka, kebebasan dan ketidakterikatan pada “penyeragaman” membuat mereka lebih mampu mengekspresikan diri.

Pernyataan di atas memang tidak sepenuhnya benar, karena Pendidikan Tinggi tidak hanya memberikan ruang gerak kebebasan berekspresi saja, namun demikian ada tuntutan untuk berfikir ilmiah, karena menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi berarti masuk pada komunitas ilmiah yang dituntut untuk memberikan pandangan atau mengkritisi sesuatu dengan dasar atau pijakan ilmiah, tidak hanya berdasarkan emosionalitas.

Oleh karena itu belajar di Perguruan Tinggi berarti mengajak kita untuk lebih bijak dalam menganalisis berbagai fenomena di sekitar kita, selain itu membiasakan diri untuk selalu terbuka pada verifikasi atau kritik. Sebagai mahasiswa seharusnya tidak lagi bersikap seperti robot, yang senantiasa menunggu “perintah” untuk mengejawantahkan materi kuliah yang diberikan oleh para dosennya. Kegiatan perkuliahan tidak lagi kaku, komunikasi searah, tanpa diskusi panjang, tanpa ada adu argumentasi di antara mahasiswa itu sendiri atau mahasiswa dengan dosen. Setiap mahasiswa harus aktif mengkonfirmasi atau mencari tahu lebih banyak tentang materi perkuliahan, tidak selalu patuh pada informasi yang diberikan atau terbelenggu kekritisannya oleh sikap otoritasn dosen. Selain itu daya kritis mahasiswa tidak hanya terbatas wacana sederhana tapi harus didasari oleh pijakan ilmiah yang didapatkan dari pemahaman berbagai sumber bacaan atau hasil penelitian terkini yang banyak dituliskan pada berbagai jurnal ilmiah. Hal tersebut karena salah satu cara mendapatkan kompetensi sebagai lulusan perguruan tinggi yang ideal adalah kegairahan kita untuk menelusuri berbagai tulisan atau deskripsi ilmiah sebagai bentuk dari keanggotaan seseorang pada lingkup komunitas ilmiah.

Bagaimanapun juga mahasiswa merupakan menjadi tulang punggung negara dan melanjutkan estafet kepemimpinan di masa-masa mendatang. Artinya seperti apa nantinya sebuah Negara tidak bisa lepas dari kreativitas pemikiran para mahasiswa. Kelompok mahasiswa dalam kehidupan sosial mendapatkan stratifikasi tempat dan peran yang teramat penting sebagai kelompok pemikir elit. Kepada merekalah sebenarnya masa depan suatu bangsa amat ditentukan apakah bergulir menuju kebobrokan ataukah menuju kecerahan. Hal tersebut karena mahasiswa memiliki berbagai fungsi strategis sebagai agent of change, transfer of knowledge, transfer of ideology, indicator of national or political stability, agent of globalization, dan human transformer. Sebuah survey yang dilakukan di Yogyakarta terhadap 200 mahasiswa sekitar bulan Mei 2004 yang menemukan bahwa sekitar 70 % mahasiswa masih yakin bahwa mereka adalah kekuatan akan perubahan (agent of change). Oleh karena itu peran yang penting inilah yang seharusnya menjadi tuntutan pada mahasiswa untuk mengoptimalkan kompetensi pada dirinya.

Hal ini semakin penting bila dikaitkan dengan pengajaran di lembaga pendidikan tinggi yang tentunya harus mengedepankan output dan outcome yang memiliki kompetensi yang diharapkan sesuai dengan disiplin ilmunya. Artinya perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan produk lulusan yang kompeten, namun mampu diserap oleh masyarakat pengguna lulusan, baik dalam tataran organisasi birokrasi pemerintahan, sipil atau militer, perusahaan swasta ataupun negeri, maupun organisasi kemasyarakatan yang lain.

Apalagi terjangan globalisasi membuat situasi menjadi semakin kompetitif dan global, sehingga pendidikan tinggi dianggap menjadi sarang untuk meningkatkan syarat kompetensi bagi seseorang. Ditambah lagi keberadaan seseorang yang tidak lagi terbatas pada satu negara saja, tetapi melintas ke beberapa negara lain, maka membutuhkan kompetensi yang semakin detail dan kompleks.

Oleh karena kondisi seperti di atas perlu mendapatkan respon dari para siswa untuk segera membuat pilihan pada Perguruan Tinggi. Memang pilihan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi bukanlah satu-satunya jawaban bagi siswa untuk mengembangkan dirinya, ada berbagai pilihan lain misalnya langsung mencari kerja. Namun demikian perlu disadari bahwa peningkatan penggangguran pada pendidikan menengah atas lebih banyak prosentasenya daripada mereka yang lulus dari perguruan tinggi. Berdasarkan review dari BPS tahun 2005 ada sekitar 3.911.502 lulusan SLTA yang menganggur dibandingkan lulusan perguruan tinggi yang hanya 385.418. Hal ini menunjukan bahwa pangsa pasar masih menganggap bahwa Perguruan Tinggi menjadi prasyarat utama untuk menerima calon karyawan mereka.

Namun demikian memilih perguruan tinggi harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena ada berbagai criteria sebuah Perguruan Tinggi berkualitas atau tidak. Banyak siswa mengadu nasib untuk meraih tempat di PTN, padahal patut disadari bahwa kapasitas PTN hanya bisa menampung 5% dari ribuan pelamar tes masuk PTN. Selain itu dengan adanya peraturan pemerintah tentang akreditasi, maka istilah PTN dan PTS menjadi sangat tidak signifikan untuk diperbandingkan. Hal tsb karena hasil akreditasi yang menentukan kualitas dan kompetensi lulusan Perguruan Tinggi bukan nama besar atau status swasta / negeri. Selain itu perlu juga untuk memperhatikan sustainability dari sebuah Perguruan Tinggi, yang dapat dilihat dari sarana / prasarana yang dimiliki, jenjang pendidikan dan kemampuan akademik staf pengajar dan disiplin dalam proses belajar mengajar. Jangan tergiur hanya dengan harga murah dan kelulusan kilat, karena nantinya tidak akan memberikan dampak positif yang signifikan pada peningkatan kompetensi seseorang.

Gambaran Mahasiswa Perguruan Tinggi

Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi sangatlah bervariasi, baik dari segi motivasi dan latar belakang social ekonomi. Maman S. Mahayana (dalam Mahasiswa Menggugat, 1998) membagi menjadi 6 kategori mahasiswa :

1. Mahasiswa underdog, umumnya datang dari pedesaan, merasa tidak ada yang dibanggakan, berusaha menjadi mahasiswa yang baik, motivasinya tinggi untuk kuliah
2. Mahasiswa salon, datang dari kota dan keluarga berada, kuliah sekedar agar tidak menganggur, bersiap melanjutkan usaha orang tua, kampus sebagai tempat pamer kendaraan, tujuannya status mahasiswa bukan ilmu
3. Anak mamih, dari keluarga menengah atas, sungguh-sungguh kuliah tapi tidak peduli kegiatan non-akademis, tujuannya segera menyelesaikan dengan baik.
4. Mahasiswa jalan pintas, motivasinya hanya memperoleh gelar, sehingga menggunakan berbagai cara untuk mendapat nilai baik.
5. Mahasiswa pekerja, dari keluarga pas-pasan atau karyawan yang ingin merubah nasib, biasanya sungguh-sungguh mengikuti kuliah, sering juga mengikuti kegiatan kemahasiswaan.
6. Mahasiswa unggulan, berasal dari keluarga terpelajar, secara ekonomi dan intelektual bagus, sering memanfaatkan masa kuliah untuk menempa diri dengan berorganisasi atau kegiatan ilmiah lainnya.

Berbagai jenis mahasiswa inilah yang memunculkan konsekuensi sulitnya menemukan bahwa semua orang nantinya kompeten untuk mengikuti perkuliahan dan organisasi intrakurikuler di kampus. Oleh karena itu output dari Perguruan Tinggipun menjadi sangat bervariasi, ada yang sangat kompeten di bidangnya namun ada pula yang sangat tidak kompeten. Hal tersebut karena pencerapan materi, pembiasaan diri untuk berfikir kritis-rasional, memunculkan kreasi, melapangkan ranah kognitif, meningkatkan emotional quotient, adversity quotient, spiritual quotient, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik untuk didapatkan pada saat seseorang berstatus sebagai mahasiswa.

Cara Meningkatkan Diri Sebagai Mahasiswa

Sebagaimana diketahui semua orang di dunia ini mempunyai kekuatan yang bersumber dari dirinya, namun seringkali masih dalam bentuk potensi. Banyak ahli Psikologi berpendapat bahwa setiap individu mampu mengembangkan dirinya dan mengubah menjadi lebih baik. Namun demikian, ternyata banyak juga yang merasa tidak mempunyai kelebihan, tak berguna dan sulit menapak pada kebutuhan puncak menurut Maslow yakni mencapai aktualisasi diri. Oleh karena itu banyak yang terhambat pengembangan dirinya dan membutuhkan tekanan internal dan eksternal tertentu agar berkembang dengan lebih baik. Robbins (dalam Santi, 2005) menyatakan bahwa perubahan seseorang (termasuk pengembangan diri) harus memiliki 3 keyakinan dasar dalam dirinya, yaitu : 1) ia mau berubah, 2) ia harus berubah, dan 3) ia dapat berubah. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan diri individu memerlukan kesadaran dan motivasi untuk berubah, serta pengetahuan tentang cara-cara pengembangan diri.

Sejak dulu kala banyak orang bijak yang menyarankan untuk mengenali diri. Socrates terkenal dengan kata-katanya “cogito orgo sum” kenalilah dirimu, karena dengan cara mengenali diri maka diharapkan dapat menjalani kehidupan secara lebih efektif. Sun Tzu (400 SM) menjelaskan 3 dalil tentang pentingnya mengenal diri, yakni : a) jika kamu mengenal dirimu dan mengenal musuhmu, maka kamu sudah berada di ambang kemenangan, b) jika kamu mengenal dirimu, namun tidak mengenal musuhmu, maka peluang menang adalah sama besar, c) jika kamu tidak mengenal dirimu dan tidak mengenal musuhmu, maka kamu pasti akan kalah dalam setiap pertempuran (Koentjoro, 2005).

Pengenalan diri sangatlah penting, karena dengan mengenal diri maka akan memperoleh 5 manfaat penting kehidupan, yaitu : a) mengetahui kebutuhan hidup yang sesungguhnya, b) mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, c) memanfaatkan kekurangan dan kelebihan untuk mencapai cita-cita, d) mampu mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan yang dilakukan pada masa lalu, dan kemudian digunakan sebagai modal dasar menempuh kehidupan yang lebih baik di masa mendatang, e) untuk merencanakan masa depan yang lebih terarah dengan kebenaran yang tinggi.

Bagaimana cara seseorang mengenal lebih baik dirinya ? Sebenarnya sudah sering seseorang melakukan pengenalan diri, namun pengenalan yang dilakukan tidak sistematis dan hanya menjawab problem hidup saat itu. Ada 3 cara untuk mengenal diri, yaitu : a) introspeksi yaitu melihat diri sendiri atau bercermin tentang diri sendiri. Kelemahan utamanya adalah diri yang didapat adalah diri subjektif menurut pandangan sendiri, b) meminta umpan balik orang lain, artinya meminta pendapat orang lain tentang diri sendiri. Kelemahannya adalah pendapat tersebut juga subjektif menurut si pemberi masukan, c) membaca dan memahami buku-buku orang bijak. Kelemahannya barangkali situasi dan kondisi kurang sesuai dengan diri sendiri.

Dengan berbagai cara tsb di atas diharapkan kita bisa merengkuh karakteristik kompetensi yang tidak mudah untuk dipelajari seperti halnya pengetahuan atau materi informasi pada ranah kognitif.

Tantangan Mahasiswa di Era Global

Di dalam era globalisasi yang menuntut kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda, maka diperlukan kompetensi yang kompleks pula. Schneider dan Barsoux (2003) menetapkan beberapa kriteria kompetensi dari International Manager, yang diharapkan bisa untuk lebih meningkatkan diri bagi mahasiswa nantinya, antara lain :

1. Interpersonal skills, kemampuan membangun hubungan baik, menjalin pertemenan, building trust, serta mampu melakukan transfer knowledge pada kultur yang berebeda
2. Linguistic ability, kemampuan ini penting untuk meningkatkan kontak social yang lebih langgeng
3. Motivation to live abroad (cultural curiousity), menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai kultur yang sama sekali berbeda
4. Tolerance for uncertainty & ambiguity, dalam interaksi dengan orang-orang yang berbeda budaya, maka kemampuan untuk bertoleransi dan melakukan coping pada situasi yang tidak menentu sangat lah penting
5. Flexibility, tidaklah mungkin mengharapkan kelangsungan kontak antar kultur apabila tidak ada kemampuan untuk selalu membuka diri terhadap perubahan
6. Patience & respect, berlaku sabar dan menghargai orang merupakan golden rule dalam bisnis internasional
7. Cultural emphaty, focused listening dan pendekatan yang tidak mudah untuk melakukan judgment pada orang lain menolong seorang manager untuk memahami cara berfikir orang lain
8. Strong sense of self (ego strength), kemampuan ini menunjukkan healthty narcism, yang nampak dari kemampuan untuk berinteraksi dengan nilai-nilai budaya lain tanpa ketakutan kehilangan identitas dirinya. Termasuk pada kompetensi ini adalah kemampuan untuk selalu terbuka terhadap kritik dan umpan balik dari orang lain
9. Sense of humour, humor menjadi sesuatu yang penting sebagai mekanisme coping dan relationship building, selain itu humor bisa menjadi cara untuk memecahkan kekakuan, untuk lebih menetapkan hubungan dengan orang dan meminimalisir isu yang terjadi.

Kesemua hal itu akan menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk selalu meningkatkan potensinya guna merengkuh peran dan posisi ideal yang diharapkan nanti saat mereka menjadi produk dari sebuah perguruan tinggi yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Lebih jauh lagi hal inipun akan menjadi tantangan bagi seluruh civitas academica Perguruan Tinggi untuk memberikan lahan pada mahasiswa guna mencapai hierarki kompetensi ideal yang dibutuhkan nantinya dalam realitas yang penuh kompetisi dengan jutaan produk perguruan tinggi lainnya di seluruh dunia ini. Semoga segala hal yang diungkapkan dalam tulisan ini bisa memacu semua pihak, utamanya mahasiswa untuk mengisi hari-harinya dengan sikap dan perilaku ilmiah yang lebih baik.

Kajian Pustaka

Armstrong, Michael. 2000. The Art of HRD : Human Resource Management. Crest Publishing House. New Delhi.

Armstrong, Michael. 2000. The Art of HRD : Managing People. Crest Publishing House. New Delhi.

Hughes,Richard L., Ginnett, Robert C., Curphy, Gordon J. 1999. Mc Graw-Hill Book Co. Singapore.

Nankervis,Alan R., Compton, Robert L., McCarthy,Terence E. 1996. Strategic Human Resource Management. An International Thompson Publishing Company. South Melbourne.

Philips,Jack J & Drewstone,Ron. 2002. How to Measure Training Results. McGraw-Hill. New York.

Schneider,Susan C. & Barsoux, Jean-Louis. 2003. Managing Across Cultures. Prentice Hall. England.

Smither, Robert D. 1994. The Psychology of Work and Human Performance. Harper Collins College Publishers. New York.

Spencer, Lyle M. 1993. Competence at Work : Models for Superior Performance. John Wiley & Sons,Inc. Canada.

Koentjoro. 2005. Meningkatkan Motivasi dan Pemahaman Diri. Makalah Pelatihan. Forest.

Read More..

Menemukan Pemimpin Perusahaan yang Ideal di Saat Krisis




Andik Matulessy


Analisis Dampak Psikologis Kebijakan Pemerintah ORDE BARU dan ORDE REFORMASI Terhadap Pimpinan Perusahaan

“There are no great men. There are only great chalenges which ordinary men are forced by circumtances to meet “ (Admiral Halsey)




PENDAHULUAN

Sebagaimana termaktub dalam Undang Undang Dasar 1945 bahwa dalam perekonomian nasional yang terwujud dalam pembangunan nasional seharusnya berorientasi kerakyatan. Hal tersebut berarti program-program pembangunan harus mengedepankan pada kepentingan rakyat, meningkatkan peran aktif rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Secara lebih luas lagi hasil-hasil pembangunan seharusnyalah memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat secara adil, makmur dan merata.

Operasionalisasi dari konsep pembangunan pada masa Orde Baru tersebut diterjemahkan dalam bentuk pembangunan dari atas (Development from Above), yakni menekankan pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, terutama sektor-sektor perkotaan dengan konsentrasi pada industri padat modal, dan didominasi oleh program-program dan proyek-proyek yang berteknologi tinggi dan besar atau raksasa.

Selain itu konsep pembangunan dari atas sebenarnya didasari oleh strategi divergen-konvergen, artinya pada saat awal pasti akan muncul perbedaan pendapatan yang amat besar antara sektor industri daerah dan perkotaan. Namun demikian setelah berbagai kegiatan ekonomi besar sudah menampilkan kesuksesan diharapkan terjadi trickle down effect dan spread effect yang akan membawa pada pemerataan ekonomi di sektor pertanian dan desa atau daerah. Namun demikian kenyataannya pemunculan proses perubahan tersebut membutuhkan waktu yang lama sampai berpuluh-puluh tahun. Akhirnya pola-pola pembangunan yang bersumber dari atas seperti itu memunculkan berbagai dampak negatif (Soelistyo,1997), yaitu: Ketergantungan yang semakin besar kepada negara-negara maju maupun pada kelompok perusahaan-perusahaan multinasional; Dominasi yang abadi dari satu atau beberapa kota besar, padahal kota-kota tersebut justru mempunyai permasalahan dasar yang berupa pengangguran, khususnya pengangguran terselubung; Meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan; Merebaknya kekurangan makanan pokok yang terus menerus terjadi dan bahkan semakin lama semakin besar jumlahnya; serta Semakin memburuknya kondisi perekonomian di pedesaan.

Selain itu program pembangunan yang “terlalu” menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi & stabilitas nasional yang mantap untuk mengamankan pembangunan ternyata cenderung “melupakan” konsep pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Akibatnya akan terjadi suatu proses perjalanan ekonomi Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kelompok birokrat dan orang-orang atau kelompok yang bisa “dekat” dengan birokrat. Akibatnya porsi pembangunan sebagian besar diambil oleh konglomerat kelas kakap yang notabene dekat dengan birokrasi kekuasaan. Walaupun program-program debirokratisasi sudah dicanangkan pemerintah, tapi kenyataan yang ada adalah masih tingginya kerjasama para pengusaha besar dan birokrasi.

Hal tersebut di atas seperti yang diungkapkan oleh Prof.Dr. Prijono Tjiptoherijanto (Jawa Pos, 4 Mei 2000), bahwa pengutamaan pada kelompok tertentu dalam peningkatan pembangunan telah menimbulkan ketimpangan struktur dunia usaha, terlihat dari kenyataan sebagian besar ekonomi terpusat pada sebagian masyarakat yang memiliki akses untuk memperoleh berbagai kemudahan dari pemerintah. Terpusatnya kekuatan ekonomi pada kelompok yang sesungguhnya tidak memiliki daya saing telah mengakibatkan rapuhnya landasan perekonomian nasional. Distribusi pendapatan yang kurang merata tsb menimbulkan kesejangan sosial ekonomi yang terkenal dengan poros trisula yakni militer---birokrasi---konglomerat yang memiliki hubungan dekat dengan poros nasional.

DAMPAK MODEL PEMBANGUNAN ORDE BARU PADA MASYARAKAT

1. Kemiskinan : Memang bila dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru termasuk fantastis, roda pembangunan berjalan dengan cepat seiring dengan modernisasi, namun demikian jurang perbedaan antara kelompok kaya dan miskin, daerah dan ibukota, desa dan kota, serta Jawa dan Luar Jawa, menjadi semakin lebar. Dampak langsung dari kondisi seperti ini adalah munculnya berbagai kantong-kantong kemiskinan di seantero wilayah di Indonesia, di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Seperti yang terungkap dari hasil data Biro Pusat Statistik Indonesia tahun 1997 (data perkiraan sampai dengan akhir Juni 1998), bahwa jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan mengalami peningkatan yang fantastis, yakni 15,4 juta penduduk miskin di pedesaan dan 41,5 juta orang pada daerah perkotaan. Tentunya penduduk miskin di kota dan pedesaan akan semakin bertambah dengan adanya kaum urban yang kembali ke pedesaan. Sampai dengan pada akhir tahun ini jumlah penduduk miskin di pedesaan diprediksikan masih terus meningkat dengan tajam.

2. Akumulasi Ketidakpuasan : Dampak lain dari pembangunan yang tidak merata adalah terakumulasinya ketidakpuasan akibat kepincangan sosial yang dibiarkan secara terus menerus (Matulessy, 1997b). Selama ini individu secara psikologis akan me”repressed” dalam sikap yang nampaknya diam dan pasrah, tapi sebenarnya penuh dengan pertentangan-pertentangan atau gejolak yang setiap waktu bisa muncul dalam energi yang amat sangat besar. Puncak ketidakpuasan yang terjadi pada masyarakat adalah munculnya berbagai macam permasalahan-permasalahan sosial dan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia.

Fenomena-fenomena permasalahan sosial yang patut dicatat pada era reformasi ini adalah sebagai berikut (Matulessy, 1998) :

a. Maraknya demonstrasi pada hampir semua lapisan masyarakat. Demonstrasi yang sebelumnya menjadi trade-mark bagi buruh dan mahasiswa, ternyata menjadi trend bagi karyawan, siswa SD-SMP-SMA, karang taruna, aktivis politik, masyarakat desa dan guru yang sebelumnya “takut” bersuara ternyata mulai berani bergolak. Bahkan demonstrasi menjadi semacam “sarapan pagi” pada hampir semua media massa. “Tiada hari tanpa demo” itulah yang menjadi semboyan saat ini. Konsekuensi langsung dari adanya unjuk rasa adalah terhentinya kegiatan bisnis, kemungkinan bentrokan fisik, provokasi kelompok yang tidak bertanggung jawab, serta akan berakibat munculnya kelompok kontra demo.
b. Maraknya kerusuhan yang bernuansakan etnis dan SARA. Kerusuhan yang terjadi biasanya dimulai dari konflik-konflik yang sederhana, namun dihembuskan dalam bahasa SARA, sehingga bisa meningkatkan ketegangan sosial antar etnis atau agama. Kerusuhan yang terjadi tidak berhenti, karena suatu kerusuhan akan ada pembalasan lewat kerusuhan lain di tempat yang sama atau berbeda. Dampak langsung dari kerusuhan tersebut adalah terhentinya roda ekonomi dan mengurangi rasa aman bagi masyarakat.
c. Maraknya keinginan disintegrasi. Problem keinginan disintegrasi atau keluar dari negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai daerah tersebut merupakan suatu hal yang logis, karena merasa tidak mendapat perlakuan adil dari Pemerintah Pusat dalam pembagian hasil pendapatan daerah. Potensi daerah yang begitu besarnya tidak mendapat respon yang sepadan, sehingga ada daerah yang merasa mendapat “sisa” dari hasil bumi yang diserap di Jakarta. Keinginan disintegrasi ini apabila dibiarkan akan menjadi bumerang dan menimbulkan konflik yang lebih besar bagi kesatuan negara yang kita cintai ini.
d. Demokratisasi politik atau kebebasan berdemokrasi. Demokrasi bagi sebagian besar masyarakat diterjemahkan sebagai keinginan untuk bebas berpartisipasi di bidang politik, bebas mendirikan partai politik, memilih partai politik, serta merevisi aturan-aturan yang ada pada sistem politik. Tentunya maraknya partai politik (kurang lebih 200 partai) dengan berbagai macam kepentingan akan menyebabkan ketidakseimbangan dari sistem yang ada, sehingga dimungkinkan munculnya pertentangan antar partai politik yang ada, yang nampak dari ketegangan dalam “kampanye jalanan”.
e. Ketidakpercayaan & perlawanan terhadap sistem yang ada. Berbagai perlawanan terhadap sistem tersebut akhir-akhir ini banyak sekali muncul di permukaan. Berawal dari demonstrasi yang mempertanyakan kinerja lembaga tertinggi negara MPR/DPR; ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga eksekutif dari daerah sampai dengan pusat yang dianggap penuh dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; perlawanan terhadap simbol-simbol negara, baik sipil maupun militer; serta ketidakpercayaan pada lembaga peradilan dari yang rendah sampai dengan Mahkamah Agung, sehingga memunculkan aspirasi “pengadilan jalanan”.
Semua fenomena sosial di atas tentunya akan menimbulkan permasalahan ekonomi yang lebih luas, yakni :

1. Terhentinya roda pembangunan, karena kegiatan penggalangan massa, baik yang sifatnya demonstrasi/ unjuk rasa, pawai akbar, kampanye, maupun kerusuhan. Bagaimanapun juga pembangunan membutuhkan dana yang tidak sedikit, partisipasi aktif masyarakat, serta situasi-kondisi politik yang mapan. Munculnya berbagai demo membuat roda pembangunan akan berjalan lambat, atau bahkan terhenti, harga kebutuhan naik, langkanya barang dan turunnya kepercayaan dunia untuk memberikan hutang. Dampak lain, akan muncul rasa tidak aman bagi anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan perekonomian.
2. Permasalahan lain akibat depresi ekonomi yang berkepanjangan adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin, yang dipicu oleh maraknya pemutusan hubungan kerja pada sebagian besar tenaga kerja karena roda produksi sebagian besar perusahaan yang terhenti. Akhirnya pengangguran memingkat dengan tajam, terutama para tenaga kerja yang berasal dari pedesaan.
3. Selanjutnya kemiskinan dan pengangguran tersebut akan berakibat pada meluasnya kejahatan secara kuantitas maupun kualitas. Kejahatan yang diistilahkan oleh DiRenzo (1990) sebagai disorganisasi sosial merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bermuara pada lemahnya kontrol sosial, serta meningkatnya tekanan ekonomi, sosial dan politik pada sistem sosial yang ada. Individu semakin berani berbuat kejahatan di tempat-tempat umum, sementara orang-orang di sekitarnya hanya jadi “penonton”.

Semua problem di atas sebenarnya bersumber dari ketidakpuasan individu akan semua kondisi yang ada. Ketidakpuasan psikologis tersebut diistilahkan oleh beberapa ahli sebagai berikut :

1. Sense of discontent (ketidakmampuan individu untuk mengungkapkan perasaannya), communication of discontent (ketidakmampuan individu untuk mengkomunikasikan kebutuhan/ keinginannya), social attribution of discontent (ketidakmampuan meningkatkan peran pada kehidupan sosial), probability of resolution of discontent (ketidakmampuan mendapatkan kemungkinan penyelesaian masalah) & resource mobilization (adanya mobilisasi sumber daya manusia) (DiRenzo, 1988).
2. Individu tidak mendapatkan pemuasan kebutuhan yang adekuat (social response/ tanggung jawab sosial, social acceptance/ penerimaan sosial, social recognition/ rekognisi sosial, affection/ rasa kasih sayang, dan secutiry/ rasa aman), sehingga mengarahkan psychological dysfunction/ permasalahan psikologis yang serius (Pines, 1981; Evans, 1972; Spitz, 1945).
3. Inconsistency status/ status yang selalu berubah-ubah (Geschwender, 1967; Orum, 1974; Allen et.al, 1980); Cummulative Deprivation / perasaan kekurangan yang terakumulasi (Legett, 1964; Zeitlin, 1966; Allen et.al, 1980); Relative Deprivation / perasaan kekurangan yang relatif terutama adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Davies, 1962; Gurr, 1972; Allen et al, 1980); Raising Expectation / semakin meningkatnya harapan akan sesuatu (Allen et al, 1980); Isolation / perasaan diasingkan dalam kehidupan sosial (Korenhauser, 1959).

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE REFORMASI PADA MASYARAKAT

Dampak kebijakan pemerintahan Orde Baru tidak bisa hilang begitu saja dengan munculnya Kabinet Persatuan Nasional yang dianggap legitimate dan dikomandani oleh K.H. Abdurrahman Wachid, atau lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur yang di dalam sejarah kehidupannya lebih banyak berkumpul di kalangan pondok pesantren ternyata tidak bisa lepas dari keberadaan sebagai anggota komunitas kesantrian, yang membentuk suatu frame of references yang khas dan “mungkin” hanya bisa dipahami oleh komunitas itu sendiri. Selain itu kedudukan seorang kyai dianggap sebagai figur sentral yang kharismatik, yang memiliki kekuatan supranatural dari Tuhan, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas dalam mekanisme kepemimpinan yang kecil serta mekanisme kepemimpinan tidak diatur secara birokratik (Arifim, 1993). Oleh karena itu segala sesuatu yang dilakukan tidak pernah dipermasalahkan oleh komunitas pendukungnya. Apalagi tampilnya Gus Dur dianggap sebagai “petunjuk dari langit” pada pertemuan para kyai di Pondok Langitan. Kondisi seperti di atas ternyata di-mix-kan dengan perkembangan wawasan pribadi yang berorientasi pada kehidupan demokrasi, humanis serta seni-budaya. Akhirnya yang muncul adalah berbagai keputusan yang dianggap “membingungkan” dan “kontroversial” pada hampir sebagian besar anggota masyarakat.

Selain itu Kabinet Persatuan Nasional yang dibangun dari berbagai elemen partai ternyata menimbulkan “ketidak-kompakan” dalam pengambilan keputusan. Mereka dianggap lebih mementingkan persoalan partai daripada masyarakat luas, sehingga banyak sekali keputusan yang tumpang tindih. Persoalan tersebut ditambah dengan munculnya berbagai Dewan/ Komisi Ekonomi dan Hukum yang belum tentu kinerjanya terbukti efektif dalam menyelesaikan krisis ekonomi.Akhirnya pemulihan ekonomi yang sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat terhalang oleh faktor-faktor non-tehnis, hukum dan politis, seperti pencopotan dua mentri bidang ekonomi dan isu retaknya Gus Dur – Mega direaksi sedemikian besar oleh pasar, sehingga nilai tukar rupiah dan indeks bursa langsung jatuh pada posisi yang agak mengkhawatirkan. Oleh karena itu Gus Dur harus segera kembali pada komitmen untuk pemulihan ekonomi dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang kontroversial (Jawa Pos, 4 Mei 2000).

Pergantian kabinet Gus Dur dengan kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh Megawati Sukarno tidak juga menyelesaikan persoalan di masyarakat luas. Kabinet yang masih bercirikan political bargaining, tidak serta merta menurunkan ketegangan dan permasalahan. Bahkan berbagai persoalan yang terkait dengan terorisme semakin meningkat dengan munculnya kasus bom di Legian Bali. Kondisi ini menjadi semakin parah, karena dampaknya tidak hanya secara regional tapi menciptakan persoalan di berbagai bidang utamanya perekonomian nasional. Selain itu semakin meruncingnya eskalasi pertarungan antar kelompok di masyarakat luas.

Persoalan-persoalan elit politik di atas tsb amat mempengaruhi situasi dan kondisi masyarakat, antara lain masih maraknya demo terutama dari para buruh yang sebelumnya berbicara tentang hak asasi manusia, kemudian berubah orientasinya pada persoalan peningkatan kesejahteraan. Upah Minimum Regional yang diterapkan pemerintah ternyata kurang mempertimbangkan kondisi perusahaan yang “terpuruk” akibat krisis ekonomi yang berat yang diawali dari tahun 1997. Bagi perusahaan yang besar dan memiliki hubungan dekat dengan birokrat akan lebih survive dari hal-hal tersebut. Namun demikian bagi perusahaan kecil s/d menengah atau perusahaan besar yang “tidak dekat” dengan penguasa akan menyulitkan untuk mengembangkan suatu perusahaan. Apalagi banyaknya “preman” yang bertindak atas dasar keamanan ternyata meningkatkan “cost” pada produksi sehingga hargapun menjadi tinggi, padahal daya beli masyarakat semakin menurun maka banyak perusahaan yang gulung tikar atau mengurangi biaya / gaji buruh ataupun menggunakan cara PHK. Ditambah lagi banyak bermunculan organisasi buruh kadang-kadang memprovokasi para buruh untuk menghentikan jalannya perusahaan dengan melakukan berbagai demo.

Ada beberapa contoh yang terjadi di Jawa Timur seperti kasus demo pekerja Maspion yang menginginkan kenaikan upah, yang sempat menimbulkan bentrokan besar dengan aparat; demo karyawan Gudang Garam yang disebabkan kesalahan persepsi tentang pesangon pada buruh; demo buruh pabrik kertas PT Pakerin yang menuntut kenaikan upah menjadi 35 – 44 %, padahal sebelumnya didemo juga oleh warga dari 4 desa seputar PT Pakerin; demo 500 buruh PT Terang Fajar Persada yang menuntut kenaikan uang makan dan transportasi, jam lembur yang tidak sesuai aturan, serta kenaikan berkala; demo 600 pekerja PT Sasa yang menuntut kenaikan upah pekerja, perlunya membangun kantor SPSI, tambahan uang sesuai masa kerjanya serta mempertanyakan pemotongan oleh PT Prawita yang bergerak di bidang penyaluran kerja; dan demo 6000 buruh PT Ecco Indonesia yang mempertanyakan aturan dari perusahaan yang menyimpang seperti uang ganti cuti haid, premi hadir, upah lembur di hari besar (Sumber Jawa Pos dan Surya). Demo-demo seperti di atas semakin menjadi lebih besar saat media massa mengungkapkannya, apalagi kemudian “dibumbui” dengan berbagai macam informasi yang belum tentu benar. Selain demo yang semakin marak tersebut menimbulkan efek belajar (social learning) pada karyawan dari perusahaan lain untuk berdemo juga untuk mengungkapkan keinginannnya. Hal tersebut karena uangkapan yang dilakukan secara demonstratif dan kolektif lebih banyak mendapatkan perhatian (Matulessy, 1999).

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PEMIMPIN PERUSAHAAN

Kebijakan yang kurang mempertimbangkan kondisi perusahaan, meningkatnya “cost” akibat korupsi dan kolusi serta raising expectation dari para buruh akan kesejahteraan, menimbulkan masalah bagi pimpinan perusahaan. Hal yang paling memungkinkan munculnya persoalan psikologis adalah :

1. Stres. Stress is a negative emotional experience accompanied by predictable physiological, biochemical, and behavioral changes that are designed to reduce or adapt to the stressor either by manipulating the situation to alter the stressor or by accomodating to its effect (Baum dalam Taylor et.al, 1994).

Ada beberapa kondisi yang bisa menimbulkan stres yakni :

a. Negative or unpleasant events : kejadian yang tidak menyenangkan atau negatif akan dipersepsikan sebagai sebagai suatu tekanan psikologis dan menyebabkan gejala-gejala fisik yang mengganggu (Mc Farlane et al, 1980; Myers et al, 1972; Sarason et al, 1978)
b. Uncontrolable or unpredictable events : kejadian yang tidak dikontrol dan tidak dapat diramalkan datangnya akan menyebabkan tekanan dalam pembuatan perancanaan atau mengembangkan cara dalam coping dengan problem (Bandura et ala, 1988; Mc Farlane et al, 1980; Suls & Mullen, 1981).
c. Ambiguous events : seringkali kejadian yang membingungkan dipersepsikan lebih menimbulkan tekanan daripada clear-cuts events. Hal tersebut karena penyebab stres yang nyata lebih cepat mengarahkan orang untuk membuat suatu solusi dan tidak meninggalkan cara penyelesaian masalah ( Billing & Moos, 1984; Gal & Lazarus, 1975)

Munculnya stres tidak hanya menyebabkan tekanan emosional dan perubahan-perubahan psikologis, tetapi juga bisa mengarahkan pada kondisi sakit (illness). Kondisi stres yang bisa menimbulkan penyakit tersebut antara lain :

1) Major stressful life events; kejadian-kejadian yang penuh dengan tekanan yang terjadi pada para pimpinan perusahaan bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius. Hal tersebut karena ada perubahan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-harinya.
2) Daily Hassles ; persoalan yang datang dalam keseharian akan memberikan dampak negatif yang bisa terakumulasi pada menurunnya kesehatan mental. Konflik interpersonal dengan karyawan/ staf misalnya merupakan persoalan yang bisa menimbulkan terganggunya kesehatan (Bolger et al, 1989)

2. Kebingungan dalam Pengambilan Keputusan : Pada teori cognitive dissonance (Leon Festinger, 1957) suatu keputusan bisa terganggu bila ada dua atau lebih kognisi (fact, belief, knowledge) bertentangan satu dengan yang lain, karena muncul disonansi atau tekanan terhadap konsistensi. Apalagi bila dua kognisi/ lebih tersebut memiliki kadar yang seimbang akan semakin menimbulkan kondisi disonance yang semakin besar. Disonansi yang besar akan menyebabkan tekanan psikologis, dan meningkatkan kecenderungan untuk mengarahkan pada kondisi yang consonance/ seimbang. Begitu juga dengan para pemimpin perusahaan ada persoalan yang menimbulkan kebingungan, di satu sisi melihata kenyataan bahwa debirokratisasi akan semakin memudahkan kinerja dari perusahaan namun demikian pada kenyataan yang lain ada banyak person yang harus “dilewati” untuk mengurus ijin suatu perusahaan. Kebingungan atau keraguan dalam pengambilan keputusan menyebabkan ketakutan untuk mengambil keputusan secara cepat dan benar. Apalagi bila sudah dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, misalnya mem-PHK sebagian karyawan atau memperpanjang umur perusahaan. Padahal keraguan untuk mengambil keputusan bisa menimbulkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

PEMIMPIN YANG IDEAL DALAM MENGATASI KRISIS

Kepemimpinan yang ideal adalah yang mengikuti model kepemimpinan dari para Rasul yang bertujuan menegakkan keadilan dan menentang kezaliman. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1999) para Rasul tsb menurut Al-Qur’an dilengkapi dengan tiga cara, yakni : Pertama mengajak orang-orang untuk mengikuti nilai-nilai yang diturunkan oleh Tuhan atau yang disebut dengan al-kitab, yang mengajak manusia kembali ke fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai Illahiah. Kedua, tidak semua orang bisa diubah dengan al-kitab, maka perlu juga al-mizan atau argumentasi rasional dan akal sehat yang mendorong kejernihan berfikir, yang termaktub dalam Al-Qur’an 2:111, 21:24, 27:64; 28:75, yakni …hatu burhanakum in kuntum shadiqien (perlihatkanlah bukti-bukti kalian kalau kalian benar. Ketiga, strategi kekuasaan (power strategy), atau al-hadid. Jadi seorang pemimpin diharapkan pertama-tama menekankan pada nilai-nilai moral yang akan menjadi panutan dalam bersikap dan berperilaku, diharapkan dengan patokan nilai-nilai agama dan bersandar pada keagungan Allah akan menurunkan kadar stres dan kebingungan, walaupun kadang-kadang harus melawan sistem yang ada. Diharapkan dengan kembali berpedoman Al-Qur’an dan Hadist akan mampu memunculkan sikap dan perilaku yang bijaksana dalam menghadapi fenomena pembusukan kebijakan (policy decay) atau budaya korupsi & kolusi yang amat sulit dihapuskan. Paling tidak perubahan-perubahan tersebut bisa dimulai dari komunitas yang kecil yang memiliki potensi untuk mengambil keputusan akan kehidupan orang lain (karyawan), walaupun kadang-kadang harus berperang melawan sistem yang masih menyisakan cara berfikir orde baru. Seperti yang diungkapkan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi; “Perubahan Sosial dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asalkan mereka memiliki komitmen (dan tentu altruisme alias semangat syahadah yang tinggi)”.

DAFTAR PUSTAKA

Lynton, R.P., Pareek, U. 1984. Pelatihan dan Pengembangan Tenaga Kerja. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.


Djalali, M.As’ad. 1985. Upaya Antisipasi Psikologis Dalam Rangka Realisasi Pasar Bebas APEC. Fenomena. Februari 1995.

Soelistyo. 1997. Pemerataan Dalam Pembangunan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Univ. Gajah Mada. Yogyakarta.

Murbyarto; Soetrisno,Loekman; Dove,Michael.1984. Nelayan Dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. CV. Rajawali. Jakarta.

Combs,Philip H; Ahmed,Manzoor. 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non-Formal. CV. Rajawali. Jakarta.

Allen,D.E; Guy,R.F. & Edgley,C.K.1980. Social Psychology as Sosial Process. Wadworth Inc. California.

Mursi, Abdul Hamid. 1997. SDM yang Produktif Pendekatan Al-Qur’an & Sains. Gema Insani Press. Jakarta.

Sajogyo.1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Agro Ekonomika. Bogor.

Effendi, Tadjuddin Noer; Weber, Helmut. 1993. Industrialisasi di Pedesaan Jawa. Pusat Penelitian Kependudukan UGM-Yogyakarta dan Friedrich Ebert Stiftung, Goethe Institute. Jakarta.

Bakir, Zainab; Manning Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia : Partisipasi, Kesempatan, dan Pengangguran. CV. Rajawali. Jakarta.

Suparlan, Parsudi. 1988. Kemiskinan di Perkotaan. Sinar Harapan. Jakarta.

DiRenzo,G. 1990. Human Social Behavior. Concepts & Prinsiples of Sociology. Holt, Rinehart & Winston. New York.

Geschwener,J.A.1967. “Continuities in the Theories of Status Consistency and Cognitive Dissonance”. Social Forces. 46,160-171.

Orum,A.M.1974. “On Partisipation in Polotical Protest Movements”.Journal of Applite Behavior Science. 10,181-207.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi ?. Rosda. Bandung.

Wiggins,J.A; Wiggins,B.B. & Zanden,J.V. 1994. Social Psychology, McGraw- Hill, Inc.New York.

Arifin, Imron. 1993. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Kalimasadha Press. Malang.

Taylor,ET., Peplau,LA., Sears,DO. 1994. Social Psychology. Prentice-Hall.Inc. New Jersey.
Read More..