Rabu, 03 November 2010

RESOLUSI KONFLIK DALAM PEMILU 2004




Andik Matulessy


Analisis Psikologi Politik
Diberikan dalam Psycho Expo Fak. Psikologi Universitas Indonesia
Jakarta,3 Maret 2004



Pendahuluan

Pemilu 2004 ini merupakan ajang pesta demokrasi kedua setelah era reformasi 1998. Pada Pemilu inilah diharapkan akan menjadi proses belajar dan pendewasaan politik . Selain itu sejak Pemilu 1999, nampak sekali civilized democracy dilakukan, tidak seperti sebelumnya yang mengandalkan pada authoritarian democracy. Pada saat awal memang proses politik nampak sekali demokratis, Jurdil dan transparans, sebagai akibat dari tuntutan sebagian besar masyrakat yang tidak menginginkan adanya single majority dari suatu parpol tertentu. Ditambah lagi banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang dibentuk oleh kalangan LSM, perguruan tinggi dan masyarakat asing diperbolehkan untuk memantau pesta demokrasi tahun 1999 tsb. Namun demikian syarat peserta partai pemilu yang sangat mudah, membuat banyak parpol yang sekedar “jual obat”, laris tidak laris tutup pindah ke tempat lain. Selain itu sentimen akan partai “orba” membuat partai yang sebelumnya siap menang dan ternyata menang telak, tidak siap memunculkan kader partai yang berkualitas, sehingga banyak anggota legislative yang “plin plan”, aji mumpung dan sama sekali tidak memiliki sensitivitas akan kehidupan masyarakat.

Lebih jauh lagi pemilu 1999, muncul ekses akibat “no party will win a majority in elections”, yakni kabinet pelangi yang rentan akan instabilitas, money politic dan politik dagang sapi. Maka jatuhlah Gus Dur yang hanya 8 bulan berkuasa pada saat itu, dan berganti dengan Megawati yang sebelumnya sangat bergantung pada Gus Dur. Jadi pendewasaan politik ternyata belum muncul walaupun reformasi muncul. Pada saat itulah bibit-bibit konflik yang dulunya terkutub antara masyarakat bawah dengan penguasa tunggal Orba, berganti dengan konflik antara grass root masing-masing parpol. Dan saya yakin dendam itu akan berlanjut pada pemilu pada tahun 2004 ini.

Apa yang Terjadi pada Pemilu 2004

Pada proses pemilu tahun 2004 ini, memang nampak terjadi perubahan besar, utamanya terkait dengan Undang Undang No 12 tahun 2003 tentang Pemilu serta Undang-undang nomor 31 tahun 2002. Pada kedua Undang undang tsb, mengatur sangat ketat parpol mana yang bias menjadi peserta pemilu. Walaupun dalam proses pembuatan terjadi tarik menarik serta bargaining di antara para anggota dewan legislative yang mengesahkan undang-undang tsb, yang tentunya diharapkan lebih mengedepankan kepentingan kelompok tsb. Sebagai contoh, dalam undang-undang yang mengatur pula tentang persyaratan presiden dan wakil presiden, banyak sekali tawar menawar yang menunjukkan keinginan untuk meng-gol-kan kepentingan kelompoknya bukan kepentingan masyarakat secara luas.

Hal yang menggembirakan adalah verifikasi untuk menentukan parpol yang melewati tahap yang melelahkan bagi parpol yang tidak masuk dalam electoral treshold dalam pemilu 1999 (6 parpol, PDIP, Golkar, PKB, PAN, PBB,PPP ), hasilnya dari 240 parpol yang mendaftar, hanya 18 parpol yang memenuhi syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu. Ini sesuatu yang baru di dunia demokrasi Indonesia, sebagai akibat munculnya KPU yang benar-benar diseleksi ketat serta independen. Tidak seperti pemilu 1999 dimana PPU berasal dari unsur parpol dan pemerintah. Hal lain adalah persyaratan anggota caleg yang sangat kompleks diharapkan akan memunculkan tokoh-tokoh yang memang berkualitas. Selain itu mulai diberlakukan system pemilihan yang tidak hanya mengandalkan pada tanda gambar tetapi juga nama atau foto calon legislative, ibarat memilih kucing di dalam karung, maka pada pemilu kali ini masyarakat memilih kucing dan karungnya. Ditambah lagi kuota perempuan 30% pada setiap caleg yang harus dimunculkan oleh parpol, akan memberi ruangan serta suasana lebih nyaman dengan kehadiran kelompok dengan jumlah penduduk terbesar tetapi kurang mendapatkan tempat dalam penempatan di legislative. Setiap parpol yang tidak menempatkan perempuanpada kuota tsb, akan diumumkandi media massa.

Pemilu 2004 dan Konflik

Konsep yang bagus dalam pelaksanaan pemilu 2004 tidak kemudian menghilangkan begitu saja kemungkinan terjadinya konflik, utamanya pada level grass root. Beberapa hal yang bias menimbulkan konflik antara lain :

1. Banyaknya parpol yang mendulang suara pada satu basis massa yang sama, seperti PKB, PPP, PBR, dsb. Pada kondisi ini mereka dihadapkan pada persaingan internal, karena organisasi keagamaan seperti NU, telah menunjukkan kenetralannya pada level elit politik, namun pada level di bawahnya tidak banyak diikuti oleh para kyai politik yang memiliki mass yang tidak sedikit. Akhirnya perebutan massa tersebut mengakibatkan perseteruan yang hangat sampai terjadi pembunuhan, seperti kasus di Lumajang Jawa Timur.
2. Persoalan internal parpol terutama sekali dalam penentuan nomor urut, banyak caleg bermasalah, penentuan kontribusi sebagai caleg, tuntutan lebih organisasi pada caleg, munculnya kepengurusan ganda, dsb akan menyulut konflik antar anggota parpol.
3. Munculnya kelompok orba jilid kedua. Munculnya kelompok ini secara terang-terang akan menimbulkan “panas” pada kelompok yang menyebut dirinya reformis. Tanda-tanda ini mulai muncul engan banyaknya hujatan pada parpol yang mencoba menarik simpati dari kelompok pro status-quo. Kelompok reformis ini akan bertambah besar apabila kaum mahasiswa yang lagi “puasa politik” nantinya akan turun ke jalan.
4. Sinyalemen dari kelompok militer tentang akan adanya sabotase yang ingin menggagalkan pemilu patut dicermati, karena tentunya mereka menggali informasi dari berbagai kalangan dan lokasi, sehingga data merekapun bias saja sangat kuat, walaupun ada yang mengatakan “tendensius” kelompok militer untuk masuk pada perpolitikan nasional. Atau yang paling menakutkan lagiada kelompok yang memanfaatkan sinyalemen tsb untuk “mempraktekannya agar nampak benar.
5. Parpol yang gagal dalam berbagai verifikasipun memiliki kemungkinan untuk masuk dalam peta konflik, karena mereka sudah mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu yang sangat besar. Jadi terlaksananya pemilu akan semakin membuat “sakit hati” dari barisan parpol tsb. Memang indikasi ini kurang begitu terbukti, tapi tentunya dalam sejarah manapun dendam politik sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
6. Ketidaksetujuan akan pemilu bisa saja dilakukan dengan cara “topo bisu”, yakni menjadi golput,kelompok yang sangat ditakuti oleh pelaksana pemilu karena akan menjauhkan hasil pemilu yang legitimate secara de facto. Sama dengan pemilihan kepala desa yang antara calon dengan “bumbung kosong”, lidinya banyak masuk di bumbung kosong itu. Oleh karena itu banyak pamflet dan iklan di TV yang menginginkan banyaknya peserta pemilu yang aktif memilih, tidak hanya sebagai oposan pasif.
7. Fanatisme akan kelompok juga akan menumbuhkan kemungkinan besar munculnya konflik di antara para pendukung / massa parpol. Fanatisme yang dibangun dari etnis, ideology, bahkan agama akan bias membuat terjadinya deindividuasi, penghilangan identitas diri dari individual mind beralih menjadi collective mind, yang rentan akan tindakan destruktif, emotional, suggestible, dan iritable. Fanatisme akan semakin memuncak saat muncul pemimpin yang sangat provokatif dan menggunakan konflik sebagai cara untuk menggalang massa.
8. Kampanye jalanan juga akan menumbuhkan konflik yang berkepanjangan, karena pada saat itu kemungkinan munculnya pertemuan langsung dengan anggota parpol lain atau atributnya akan memungkinkan munculnya konflik langsung yang destruktif antar kelompok tsb. Karena pada saat massa berkumpul dalam sebuah space yang sangat luas tidak memungkinkan adanya penghindaran mereka untuk tidak berlaku negatif.
9. Fenomena money politics bisa juga meningkatkan eskalasi konflik, utamanya pada parpol yg “kering”, yang mengandalkan pada loyalitas anggota akan merasa “tersinggung” dengan adanya tokoh dari parpol lain yang lebih “kaya” mampu membeli suara dari pendukung/ massa tsb.
10. Floating mass yang terbentuk akibat janji-janji muluk partai di era reformasi yang tidak bisa lagi dipercaya, akan memunculkan antipati terhadap parpol manapun yang mencoba menjual ide dalam kampanye pemilu.
11. Kurang optimalnya kerja KPU utamanya dalam menyiapkan perangkat sarana dan prasarana pemilu seperti kotak suara, kertas suara, bilik suara, petugas PPS, TPS, dsb merupakan hal yang sensitive sehingga bisa menggagalkan pelaksanaan pemilu 2004.

Resolusi Konflik Antar Parpol

Konflik antar parpol tidaklah sama dengan konflik antar individu, pada penanganan konflik antar parpol tetunya lebih banyak mengedepankan pada penyelesaian politis daripada penyelesaian secara individual. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi dasar resolusi konflik tsb, antara lain yang dikemukakan oleh David Myers dalam bukunya exploring social psychology, yakni :

1. Regulation : perlu ada sebuah tatanan cara bermain yang adil bagi kelompok parpol tersebut. Selain itu ketegasan terhadap pelanggaran oleh parpol manapun akan mengurangi terjadinya konflik. Oleh karena itu perangkat hukum yang digunakan harus independen dan tidak berorientasi pada parpol yang sekarang berkuasa. Pada saat sebuah pelanggaran dibiarkan atau tidak ada penyelesaian yang tegas (probability of resolution discontent), maka konflik akan semakin besar.
2. Small is beautiful: Dalam kelompok yang kecil masing-masing anggota kelompok lebih responsible, effective dan identified with group success. Selain itu akan semakin meningkatkan pula kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu pemampatan jumlah peserta pemilu diharpkan juga tidak menimbulkan “rasa lebih” dari para anggotanya, sehingga membuat mereka merasa memiliki peluang yang sama, walaupun secara realitas tidaklah demikian.
3. Communication : Komunikasi merupakan kesempatan untuk saling bertukar informasi dan perasaan. Jadi hilangnya atau terhambatanya komunikasi akan menumbuhkan mistrust di antara kelompok tsb. Padahal rasa percaya satu dengan yang lain menjadi sebuah dasar munculnya interaksi yang berkelanjutan. Selain itu komunikasi akan memudahkan terjadinya agreement dari masing-masing pihak yang saling berkonflik. Komunikasi dalam pemilu sebenarnya sudah banyak difasilitasi oleh Muspida dengan pembentukan Forum Komunikasi Antar Parpol, namun demikian ada beberapa parpol yang merasa bahwa pengaruh parpol besar masih sangat dominan mewarnai keputusan Forkom tsb.
4. Changing the Payoffs : Pembalikan manfaat akan sebuah kejadian akan sangat penting untuk mengurangi konflik, utamanya memberikan rewards adanya kerjasama dan punishment dari adanya eksploitasi yang mengarah kepada konflik. Banyak sekali persoalan yang terjadi di parpol yang kemudian mendapatkan “angin” untuk tidak diselesaikan secara tuntas, utamanya pada parpol besar yang masih mengandalkan kekuatan bargaining politiknya.
5. Appeals to Altruistic Norms : Perlunya para pemimpin parpol melihat sebuah perilaku dari anggotanya yang fanatis pada parpol disikapi dengan mengarahkan pada keinginan untuk bekerjasama dengan parpol, bukan malah memprovokasi untuk berkonflik. Karena pemimpin parpol sangat menentukan massa di level grass root ini akan diarahkan kemana. Adanya tanggung jawab social bahwa pemilu ini akan menjadikan sarana menuju bangsa yang lebih baik akan menjadi sebuah ungkapan sejuk untuk tidak melakukan tindakan negatif.

Pengatasan konflik tersebut tidak akan efektif tanpa membuat perubahan akan system itu sendiri. Perubahan system bisa dilakukan oleh anggota legislative dan eksekutif yang kita pilih nantinya. Pilihan salah akan mengarahkan pada kondisi system yang “mandek” dan tidak akan mendekatkan Indonesia Baru yang dicita-citakan dalam reformasi.

0 komentar:

Posting Komentar